Tampilkan postingan dengan label Sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sastra. Tampilkan semua postingan

07 April 2024

Kenang, Kenanglah Aku

April 07, 2024 0
Akan kudengani kau dalam lubang
Malam datang, kau mengambang
Kau tinggalkan kesenangan
Kau tinggalkan taulan

Kau dengar nyanyianku menggelegar
Menggetar dinding tanah yang segar
Kemudian kau sadar, sadar
Di mataku, kau tak pernah pudar

Akulah inti paling sejati
Yang sentiasa tinggal dalam hati
Merangkul gelak gembira
Memapah pupus derita

Udara dingin, malam begitu asing
Kau tangkap nada paling bening
Hus! Pergilah ular bertaring
Hus! Enyahlah kalajengking

Ialah kidung kekasih
Menyisir ruang makammu
Dibawakannya arabika dan cangkirnya
Dibawakannya ubi dan bara

Fajar terbit di kepala
Ada yang menyala-nyala
Ialah lolong di udara
Ialah derap huru-hara
Lihatlah, butiran zaman
Diobrak-abrik oleh peradaban yang sakau
Oleh genderang perang, oleh ramai pemberontakan

Arwah-arwah gentayangan
Menutup telinga dan mata dengan kain kafan
Untuk apa mereka mendengar, untuk apa menyaksikan?
Sedang sangkakala belum lagi berkumandang

Nah, aku menjelma
Akankah kau memawas diri
Sementara huru-hara di mana-mana
Sementara gundah-gulana menghujani

Jangan berpaling
Tatap aku dengan bening
Resapi keindahanku
Buang khayalan masa lalu

Jangan terlena
Meski aku beraga nusia
Ruh adalah makna paling murni
Meski dibungkus berlapis-lapis goni
Cahayanya teguh bersinar
Terang berpendar-pendar

Tabuh genderang, iringi senandung peradaban
Hari ini adalah masa depan
Di mana para pemuda melangkah dengan gagah
Pada jalan setapak yang megah

Sungguh, segala yang hanya menuju pada Yang Maha Kekal
Sedang banyak persimpangan mengarah pada gudang beras
Sedang banyak jalan tikus menuju brankas dan peti emas
Akan terbang, mengangkangi gelapnya palung sesal

Diam, tutup mulutmu dari bualan
Kau akan menyala, benderang
Seperti seorang guru dari Iran
Seperti kartika kejayaan
Teranglah, terang
Seolah bumi dalam pangkuan

Malang/Kendal, April 2024

Disadur dari 'Remember Me' karya Jalaluddin Rumi, terjemahan Jonathan Star


02 April 2024

Hilang Harap

April 02, 2024 0
Demi jiwamu,
Aku gelak lagi
Terjebak dalam ruhmu, segala terjerat, kupegat,
Demi jiwamu
Bagai nirwana, bagai candra, bagai dian di lembah caya
akulah segala jawab, segala cinta, segala nyawa
Demi jiwamu
Jayaku dalam gerakmu, dimabuk aku oleh tuakmu
Sembarang kau memandang, ke sana aku datang     
Demi jiwamu
Aku mengigau, omong kosong sembarang
Seperti yang biasa didengar di zaman edan
Hingga tiada terbedakan kopi dan cawan

Demi jiwamu
Akulah si gila dalam pasungan, jeratan graha
Ha! si gila, seperti Sulaiman yang kekang asura
Kusibak segala rasa segala apa,
Yang diam-diam bertamu dalam dada
Kecuali cinta
Datanglah, kau yang bertualang
Karena puncak perjalanan adalah pulang
Demi jiwaku, itu bukanlah kau
Demi jiwamu, itu bukanlah aku

Demi jiwamu, hai para penyangsi
Jangan kau pendam kesangsian dalam ruhmu
Sebab akan aku nyanyikan rahasia takdirmu
Demi jiwamu
Takzim aku, duhai Syams
Aku yang terjaga ketika malam jelang
Serupa bianglala berderak
Aku hilang harap

Malang, Desember 2023

Disadur dari puisi Confused and Distraught karya Jalaluddin Rumi, terjemahan A. J. Arberry

31 Maret 2024

Telanjang

Maret 31, 2024 0
Aku yang telanjang
Yang keluar lewat jalan sempit para puan
Setelah satu setengah musim dalam kegelapan
Kusongsong dunia, terang-terang, benderang

Aku yang telanjang
Kubasuh kepala, tangan, kaki, sekujur badan
Busa-busa bergerombol, cela-noda digugurkan
Air mengalir basah diri, aku cemerlang

Aku hampir telanjang
Kutemui penghambat di ujung selang
Di sana, di ujung saluran limbah pembuangan
Kutebas ia, bagai padi-padi yang matang

Ingin aku telanjang
Berangan-angan, menunggu ia datang
Sementara kami buat kesepakatan, satu tujuan
Lalu mengambang, dua manusia dilarut riang

Aku juga telanjang
Bilamana kepak sayap yang dinanti lah datang
Busana, kata-kata, dan ia ditinggalkan
Sendirian, aku berbaring dalam liang

Kita pasti telanjang
Berkumpul pada bumi lapang, dan surya sekilan
Menunggu, satu-satu kita diputuskan
Bagaimana jika bukan tangan kanan yang menjemput catatan

Kedung Kandang, 31 Maret 2024

catatan: gambar dibuat dengan teknologi kecerdasan buatan

23 Maret 2024

Benalu

Maret 23, 2024 0

Rupanya akulah benalu
Meracuni bunga-bunga di matamu
Untuk apa ada aku
Kalau kita lain pintu

Rupanya akulah benalu
Merongrong tembok-tembok kamarmu
Sepi, sepi, kita bersendiri
Aku peruntuh hari-hari

Rupanya akulah benalu
Hantu di kebunmu
Kuselami jengkal demi jengkal kesangsian
Kau jauhi inci demi inci kesenangan

Rupanya akulah benalu
Perusak mimpi-mimpi itu
Perampok pundi-pundimu
Untuk apa ada aku
Sungguh, untuk apa ada aku?

Malang, 23 Maret 2024
Sumber gambar: freepik.com

17 Maret 2024

Gentayang

Maret 17, 2024 0

Aku arwah gentayangan
Melayang-layang
Di sekitarmu mengawang-awang
Ingin terus menerus marasukimu
Memenuhi bibirmu, lidahmu, nafasmu, telingamu
Menjelajahi kerongkonganmu, tengkukmu, pundakmu, punggungmu, perutmu
Dadamu kupenuhi dengan udara, agar lapang dan terbuka
Bermekaran, penuh, dan segar
Kukucup puncak manusiamu, pada pintu ruhmu
Semakin jauh kusurupi tubuhmu
Semakin dalam, semakin pendam, aku tenggelam
Kukunyah jengkal demi jengkal dagingmu
Kureguk dari ujung ke ujung syarafmu
Otot-otot menegang, kugenggam dalam tarikan
Nadi-nadi menderas, bak jeram di musim hujan
Kurebut kau, pada persimpangan tulang-tulang
Mengembang, bunga-bunga di kakimu
Aku menuju, pada inti sukmamu
Meledak aku menjadi nyanyian
Berhamburan bagai bintang-bintang
Kau meringkuk, sendi-sendimu mengatup
Kita serukan satu pekik kebebasan
Yang membangkitkan, yang menggairahkan
Yang menggetarkan kebekuan malam
Dan kulepas kau, menjauh dari akal bayang
Karena aku arwah
Bergentayangan setiap malam
Marasukimu setiap datang

Kedung Kandang, 17 Maret 2024

sumber gambar: Freepik.com

Gundah Si Ayah

Maret 17, 2024 0

Na, sebentar lagi lebaran
Sedang aku masih pengangguran
Apa yang harus kita lakukan?
Pada busana, kue-kue di meja, tiket perjalanan
Juga pada mulut orang?

Bagaimana kau dan aku terus ada?
Aku tak berdaya mengisimu
Kau tak merela penuhiku
Kitalah dua dara satu naungan, satu dahan
Kitalah lintang lain langit, lain malam

Bukankah kemiskinan adalah wajah segala bangsa?
Yang mencantiki kota-kota
Yang mengencingi desa-desa
Di gunung menjadi pasak-pasak penyangga
Di laut menjadi tiang-tiang bahtera
Di gurun menjadi tirai-tirai pengelana
Di hutan menjadi jejak para penjaga
Tidakkah patutnya kita bangga
Sebagai pewaris peradaban dunia

Na, akankah kau meragu
Lelaki ini benalu
Diam-diam mengakar, 
Menggerogoti dinding-dinding kamar
Pelan-pelan mengabu,
Bagai jelaga di atas tungku

Kedung Kandang, 17 Maret 2024
sumber gambar: freepik.com

17 Januari 2024

Kaina

Januari 17, 2024 0


Kaina
Sampailah wayahnya
Ulun behadap lawan hampian
Apa kesah handak dipadah
Apa dongeng handak dipandir
Apa tingkah handak diulah
Ulun ini urang habak basalah
Samantara hampian babini nang mulia

Berau, Januari 2024

sumber gambar: Freepik.com

10 Januari 2024

Hai Kids, this is Your Dad

Januari 10, 2024 0



Hai kids, this is your dad
Kata-kata ini ditulis di pembuka tahun 2024 di tanah kelahiran
Mbak Rayya jelang dua tahun, sedang lucu-lucunya, bertanya nama perihal segala
Ayah kalian baru sebulan menginjak umur 32 tahun
Bukan angka yang muda lagi
Sementara lelaki ini masih tetap seorang penganggur
Tidak kerja, tidak punya usaha apa
Tak punya tabungan, tak berpegangan
Lagi tiada berwarisan, tiada berpeninggalan
Kepunyaanku adalah ruang yang dipenuhi kekosongan

Aku bersarjana pula, tapi rasanya percuma
Padahal Bapak-Ibu susah payah membayar semua
Pernah aku jadi pegawai, tapi entah, mengapa pula kutinggalkan pula
Sesekali kupikir, mungkin ini jalannya, agar isi kepalaku tak dipenjara
Tapi kadang juga kutanya, lantas mau diapakan waktu yang terus-menerus berjalan
Isi kepalaku malah berkelana ke samudera, tiada tujuan

Kata-kata ini penuh dengan kekhawatiran, soal kalian, dan bunda kalian
Sepanjang apakah kita dilindung tabah?
Sungguhpun kuharapkan hari depan kita semua cerlang gemilang
Tapi tiap langkah kutapaki dengan terompah kesangsian
Akan sampai kapan?

Karena itu, kuminta banyak maaf
Selagi aku ingat dan sempat
Ada banyak bahan pikiran yang meresahkan
Padahal kalian, anak-anak, jelaslah kebahagiaan
Sungguh,
Kumohon maafkan..

Tanjung Redeb, Januari 2024


15 Desember 2023

Perempuan Liar dan Lelaki Pengecut

Desember 15, 2023 0

 

ilustrasi: freepik

Seperti angin di musim kemarau
Tenangmu menghembuskan pertanyaan
Akankah mendung datang?
Sedang aku adalah dedaunan
Yang hari demi hari kian tunduk
Diam-diam bersiap, meluruh seluruh dalam sekali deruh

Seperti ombak di lautan
Tarianmu melenakan nelayan-nelayan yang berjaga
Membuai bagai lengan ibu yang membelai
Sedang aku adalah pasir pantai
Menetap, menegap, menunggumu datang berbagi setiap
Lalu pergi, menyeret jiwaku yang sangsi

Seperti unggun di punggung gunung
Kau menyala mencipta, menghangat ujung jari para pendaki
Terangmu menghalau ketakutan, gerakmu menghadir kedamaian
Sedang aku adalah kayu bakar
Melesak rasuk dalam semangatmu
Mengarang mengabu dalam petuahmu

Seperti pagi yang membangkitkan
Kau berembun, dingin, taram temaram
Menikam hati dan pikiran yang dicumbui malam
Sedang aku adalah jendela kamar
Tempat bola mata mengintip pekarangan luar
Dirahasiakannya riuh dan pisuh dalam-dalam

Seperti burung hantu dalam belantara
Dalam senyap, kau menerkam, mencabik, dan menghilang
Menyusup masuk dalam mimpi para pembimbang
Sedang aku adalah ranting dan dahan
Yang bersaksi bahwa kepak sayapmu gemilang
Retak berpatahan tiap kali kau datang

Malang,15 Desember 2023

13 Desember 2023

Menyongsong Era Mesin Pembuat Puisi

Desember 13, 2023 0

Pada tahun 1956, muncul konsep mengenai mesin yang dapat berpikir dan mengambil keputusan seperti layaknya manusia. Konsep ini dikenal dengan nama artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Baru pada tahun 2000-an, konsep tersebut mulai dikembangkan. Saat ini, mesin dengan kecerdasan buatan sudah ada di sekitar kita dan mulai mengambil peran di berbagai sektor kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, hukum, ekonomi, kesenian, dan banyak bidang lainnya. Dalam tulisan ini, perangkat dengan teknologi kecerdasan buatan yang dapat menciptakan puisi akan penulis sebut sebagai mesin pembuat puisi.

Tujuan awal dari lahirnya teknologi tentunya untuk mempermudah pekerjaan manusia. Demikian pula halnya dengan kecerdasan buatan. Kehadiran kecerdasan buatan mempermudah pekerjaan manusia dan membuat prosesnya menjadi lebih efektif dan efisien. Di sisi lain, banyak yang khawatir jika peran manusia dalam kehidupan nantinya digantikan oleh mesin. Kekhawatiran tersebut juga hinggap di benak para penyair. Saat ini, mesin dapat dengan mudah menciptakan puisi hanya dalam beberapa detik. Sepintas, penyair kalah telak dalam hal durasi penciptaan suatu karya. Namun apakah benar mesin pembuat puisi dapat menggantikan penyair?


sumber gambar: Freepik.com


Bagaimana Mesin Menciptakan Puisi

Mesin pembuat puisi menggunakan algoritma kompleks dalam proses operasinya. Mesin tersebut memiliki perbendaharaan kata yang sangat luas dari berbagai bahasa seluruh dunia berikut dengan segala gaya berbahasa penuturnya. Mesin pembuat puisi dari Google, yaitu Verse by Verse, dapat menciptakan puisi dengan kombinasi gaya penyair dunia seperti Emily Dickinson,  Edgar Allan Poe, Oliver Wendell Holmes, dan Emma Lazarus. Sedangkan mesin pembuat puisi lainnya, poemgenerator.io, mampu menciptakan puisi dengan tipe dan panjang yang dapat disesuaikan oleh penggunannya.

Mesin pembuat puisi juga mengolah preferensi pengguna sebagai upaya menghasilkan puisi yang “autentik”. Riwayat dari preferensi pengguna ini akan menjadi bahan belajar bagi mesin pembuat puisi sehingga nantinya puisi yang dihasilkan semakin berkembang dan bervariasi.

Proses belajar dalam wacana kecerdasan buatan dikenal dengan istilah deep learning (pembelajaran mendalam) dan dirancang untuk dapat bekerja seperti otak manusia. Deep learning bekerja melalui jaringan informasi yang sangat besar dan kemudian mencapai suatu kesimpulan sehingga apa yang awalnya hanya konsep dapat menjadi lebih jelas dan kompleks. Seperti yang dikutip dari Teachtarget.com:

To understand deep learning, imagine a toddler whose first word is dog. The toddler learns what a dog is -- and is not -- by pointing to objects and saying the word dog. The parent says, "Yes, that is a dog," or, "No, that is not a dog." As the toddler continues to point to objects, he becomes more aware of the features that all dogs possess. What the toddler is doing, without knowing it, is clarifying a complex abstraction: the concept of dog. They are doing this by building a hierarchy in which each level of abstraction is created with knowledge that was gained from the preceding layer of the hierarchy.

Kecerdasan buatan dapat mengklarifikasi suatu keniskalaan yang kompleks dengan membangun tingkatan pengetahuan. Pengetahuan yang baru dibangun berdasarkan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Hal yang membuatnya berbeda dengan manusia adalah sumber pembelajaran bagi kecerdasan buatan sangatlah luas dan tidak dibatasi oleh ketahanan fisik. Sedangkan sumber pembelajaran bagi otak manusia lebih sedikit dan sangat dibatasi oleh ketahanan fisik manusianya. Deep learning memungkinkan mesin pembuat puisi untuk mengembangkan kemampuannya. Misalnya, awalnya kata lembar hanya berkaitan dengan tema buku atau bacaan, namun di kemudian hari kata lembar dapat berkaitan dengan jenjang pendidikan atau tahapan kehidupan.

Meski terkesan canggih, mesin pembuat puisi tidak serta-merta dapat membuat puisi sesuai dengan kehendaknya. Mesin pembuat puisi membutuhkan manusia untuk memberi perintah. Rata-rata mesin pembuat puisi memerlukan gambaran tema dari puisi yang akan diciptakan. Kemudian untuk memperkuat puisinya, beberapa mesin pembuat puisi membutuhkan deskripsi singkat, atau gaya penyair mana yang akan ditiru, atau jenis puisi seperti apa yang akan dibuat. Pilihan tersebut berbeda-beda antar mesin. Satu hal yang pasti, diperlukan adanya sentuhan awal dari manusia sebagai modal bagi mesin pembuat puisi untuk dapat menghasilkan puisi yang sesuai dengan selera penggunanya.


Keunggulan Mesin Pembuat Puisi

Dilihat dari segi kecepatan, mesin pembuat puisi jauh lebih unggul ketimbang penyair. Dengan hanya mengetahui tema dan puisi seperti apa yang akan dibuat, mesin pembuat puisi dapat menghasilkan puisi dalam waktu sekian detik. Berbeda dengan penyair yang tentu butuh waktu lebih lama untuk menghasilkan sebuah puisi. Setidaknya penyair memerlukan waktu dalam hitungan menit untuk merenung, menimbang, dan mulai menulis puisinya. Beberapa penyair mungkin mengalami ledakan kata-kata yang tiba-tiba muncul di pikirannya dan dapat langsung ditulis menjadi puisi. Peristiwa seperti ini mungkin membuat penyair dapat menghasilkan puisi dengan lebih cepat. Namun hal tersebut dapat dikatakan sebagai “mukjizat” bagi penyair, tidak dapat diduga-duga, dan tidak dapat direncanakan terjadinya.

Penyair perlu memutar otak untuk menemukan diksi yang tepat demi mencapai nilai estetika yang diinginkan, misalnya dalam rima atau jumlah suku kata. Sedangkan mesin pembuat puisi tak butuh waktu banyak untuk mewujudkan hal tersebut.  Bahkan, mesin pembuat puisi memiliki banyak kata cadangan jika ternyata kata yang dipakai tidak sesuai dengan selera penggunanya.


Dampak Negatif dari Hadirnya Mesin Pembuat Puisi

Mesin pembuat puisi memungkinkan siapa saja dapat menulis puisi. Siswa sekolah dasar bisa saja menulis puisi dengan gaya berpuisi yang mirip Rendra atau Sapardi tanpa harus memiliki pengalaman menulis puisi sama sekali. Kemudahan ini akan memicu lahirnya penyair-penyair instan yang tidak bertanggung jawab. Ruang yang sangat mungkin terdampak adalah dunia pendidikan di mana dalam pelajaran bahasa, siswa terkadang dituntut untuk bisa menulis puisi. Siswa yang tidak bertanggung jawab akan menyepelekan tugas tersebut karena mesin pembuat puisi dapat menulis puisi untuk dia. Terlebih lagi jika diberi waktu beberapa hari untuk mengerjakan tugas tersebut. Alih-alih menggunakan waktu yang ada untuk merenung dan menghayati puisi yang akan dibuat, mesin pembuat puisi bahkan baru saja menciptakan puisi beberapa menit sebelum guru masuk kelas dan siswa dengan sigap menyalinnya ke buku tugas.

Selain dunia pendidikan, para pegiat sastra juga patut waspada. Mesin pembuat puisi dapat disalahgunakan oleh orang-orang yang ingin disebut sebagai penyair namun enggan menghabiskan daya pikirnya untuk membuat puisi. Orang-orang tersebut mengakui puisi yang diciptakan oleh mesin sebagai puisi yang mereka ciptakan sendiri. Hal tersebut tidak berbeda dengan plagiat, atau malah lebih berbahaya. Plagiarisme yang kita tahu selama ini merupakan suatu pelanggaran hak cipta di mana masih dapat ditelusuri karya aslinya. Sedangkan dalam kasus ini, karya asli yang dihasilkan oleh mesin pembuat puisi amat sukar ditelusuri, bahkan jika menggunakan mesin dan kata kunci yang sama, puisi yang dihasilkan sangat mungkin berbeda.

Selain itu, mesin pembuat puisi meniadakan satu hal penting dalam penciptaan puisi yaitu proses penciptaan puisi dari tiada menjadi ada. Penciptaan puisi merupakan serangkaian proses yang amat menentukan mutu dari puisi yang akan dihasilkan. Tiap-tiap penyair memiliki metodenya masing-masing dalam menulis puisi. Hal-hal yang biasa dilakukan oleh kebanyakan penyair adalah terlebih dahulu menentukan atau menemukan ide, memilih diksi, mengolah rima, bait, permajasan, dan banyak proses lainnya. Rangkaian proses tersebut ditentukan pula oleh daya kreatif dan jam terbang penyair dalam dunia kepenyairan. Proses penciptaan inilah yang menjadikan suatu puisi memiliki nilai di mata pembacanya serta dapat diukur tingkat mutunya.

Mesin pembuat puisi menjadikan suatu puisi tiba-tiba ada tanpa perlu dipikir dan ditimbang-timbang bagaimana rimanya, diksinya, gaya bahasanya, dan sebagainya. Hal ini seperti seseorang yang sebelumnya harus menanam padi, menunggunya hingga panen dan menjadi gabah, lalu mengolahnya menjadi beras, dan memasaknya menjadi nasi. Sementara, seseorang yang lain bisa langsung menyantap nasi hanya dengan memberikan beberapa lembar uang. Orang pertama sudah tentu memiliki penghargaan yang lebih tinggi atas nasi yang dia peroleh ketimbang orang kedua karena dia terlibat dalam proses pembuatan nasi tersebut dari tiada menjadi ada. Tanpa adanya proses penciptaan, maka suatu puisi menjadi tidak ada nilainya di mata pembaca. Ironisnya, puisi yang tak bernilai tersebut tidak hanya untuk puisi yang diciptakan oleh mesin namun juga berlaku pada puisi yang diciptakan oleh penyair. 


Bagaimana Kita Bersikap

Sejauh ini, keberadaan teknologi kecerdasan buatan masih terbatas pada mempermudah pekerjaan manusia. Mesin pembuat puisi tidak akan menciptakan puisi jika tak ada manusia yang memberinya perintah. Meski dapat menciptakan puisi dengan gaya penyair terkemuka, kekurangan (di sisi lain juga dipandang sebagai kelebihan) dari mesin pembuat puisi adalah tiadanya proses penciptaan yang berarti hilangnya ruh dari puisi.

Dalam proses penciptaan puisi terdapat pengalaman batin, emosi, serta kesadaran penyair. Asrul Sani menyebutkan bahwa emosi adalah tenaga pendorong dalam penciptaan dan keras-tidaknya tekanan suara yang dikeluarkan syair itu tergantung pada kuat tidaknya emosi yang diterima penyair untuk menolong dia mentransmisi perasaan.

Sementara itu, Keith J. Holyoak, menyatakan bahwa ketiadaan pengalaman batin juga berarti bahwa kecerdasan buatan tidak memiliki apa yang paling dibutuhkan untuk menghargai puisi: rasa kebenaran puitis, yang tidak didasarkan pada realitas objektif melainkan pada pengalaman subjektif.

Pengalaman batin dan emosi yang hanya dimiliki oleh manusia menjadikan puisi yang diciptakannya menjadi lebih hidup. Dengan begitu, puisi karangan penyair mendapatkan satu poin lebih unggul dari mesin pembuat puisi.

Poin unggul berikutnya yang sejauh ini belum dapat ditemukan oleh mesin pembuat puisi adalah sesuatu yang penulis sebut sebagai penyelewengan berbahasa. Dalam berpuisi, penyair bebas mencurahkan ekspresinya dalam berbagai bentuk. Terkadang terdapat beberapa kaidah berbahasa yang diselewengkan atau sengaja dihadirkan dalam wujud yang salah.

Demikian pula halnya dengan gaya selingkung dari penyair itu sendiri di mana tiap-tiap penyair tentu memiliki gaya selingkung yang berbeda. Sedangkan pada mesin pembuat puisi, gaya semacam itu didapat dari penyair-penyair yang telah ada sebelumnya. Penyelewengan berbahasa dan gaya selingkung yang murni dari penyair tentu belum ada dalam perbendaharaan informasi mesin pembuat puisi. 

Pada akhirnya, mau tidak mau, manusia harus hidup berdampingan dengan kecerdasan buatan. Para pegiat puisi pun harus bijaksana dalam mengambil sikap. Bagi para pembaca puisi, tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam membaca puisi karya penyair dan puisi yang diciptakan oleh mesin. Pembaca biasanya tidak terlalu ambil pusing mengenai bagaimana puisi tersebut dapat tercipta. Hanya saja diperlukan kesadaran dari para pembaca mengenai mana puisi yang memiliki ruh dan mana puisi yang hanya berupa wujud saja. Sementara para pembaca bagi kalangan akademisi dibutuhkan pengkajian lebih lanjut mengenai bagaimana menyikapi puisi-puisi yang dihasilkan oleh mesin. Apakah akan disamakan derajatnya dengan puisi ciptaan manusia ataukah berbeda.

Sedangkan bagi para penyair, kehadiran mesin pembuat puisi harus diiringi dengan keberanian bertanggung jawab. Sebelumnya, khazanah puisi biasa menghadirkan karya-karya terjemahan, saduran, serta adaptasi. Mesin pembuat puisi dapat menjadi asisten yang bermanfaat dalam perjalanan karir penyair. Bukankah penyair-penyair besar juga menerjemahkan, menyadur, dan mengadaptasi puisi dari penyair lainnya? Satu hal yang terpenting adalah keberanian bertanggung jawab serta jujur mengakui bahwa puisi yang diciptakan bermula dari puisi yang diciptakan oleh mesin.

Puisi yang dibuat oleh mesin adalah hal yang biasa-biasa saja. Bahkan walaupun kelak mesin dapat berpuisi berdasarkan kehendaknya dan murni dari kecerdasan yang dimiliki, hal tersebut tidak akan mengubah apa-apa. Bukankah selama ini puisi-puisi yang ada di sekitar kita juga demikian adanya? Ada atau tidak mesin pembuat puisi, siapa saja tetap dapat menciptakan puisi, puisi-puisi yang kosong maupun yang berbobot tetap berserakan di mana-mana untuk dibaca oleh siapa saja dan menilai berdasarkan kapasitasnya, dan plagiarisme tetap mungkin terjadi.


Daftar Referensi

Sani, Asrul. 1997. Surat-Surat Kepercayaan. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya

31 Agustus 2023

Kau Darah, Aku Api

Agustus 31, 2023 0
Ilustrasi Puisi "Kau Darah, Aku Api"


Luka buka, melebar mengangah
Menjadi ukir, sayatan belati dalam risalah
Kau darah, netes dari dalam ingatan
Genang-mengenang, kau diam dalam heningan

Sementara dalam dada, ruang sunyi sahayanda
Getar jiwa bergejolak, sesal menyala-nyalak
Aku api, menghangus kemah-kemah petualangan
Pijar cahaya, panas udara, menggetar badan

Lantas apalah kita,
Kala dulu memaksa, melesak satu
Ialah barah... Barah...
Merah menerang, memancar dari jejak-jejak perjalanan
Marah bergenang, kucup tubuh sepenuh dendam

Kita barah, membasahi jengkal langkah
Kita barah, menjelaga lembar sejarah

Malang, 23 Agustus 23

18 Agustus 2023

Kembali

Agustus 18, 2023 0

Ilustrasi Puisi "Kembali"


Apa yang kau cari?
Kita kan tiada lagi
Sedang ruhmu masih di sini
Berlari-lari dalam nadi

Namamu musti luntur dari temu
Dalam sasana rindu
Membentur dalam gelak ingin aku
Kau menghambur, menggerilya, mendebu

Bukankah rasa saka yang lalu telah mengabur?
Lantas kau diam-diam meracun tidur
Seperti alang-alang yang tumbuh subur
Di sudut-sudut sunyi tanah kubur

Jika doa menyemoga mengudara
Siapa yang dapat menarik-hempasnya?
Kalau bukan Yang Penerima
Takkan tenggelam dalam samudra pinta

Malang, 18 Agustus 23

15 Agustus 2023

Rantauku

Agustus 15, 2023 0
Ilustrasi Puisi "Rantauku"


Aku ingin pergi
Jauh dari segala keruh
Jarak dari segala kerak
Di sini aku bukan apa, tak dapat-beri apa

Di utara
Barangkali kah iyanya
Segara setra
Rindu-rindu bermuara

Mungkin pula barat laut
Tempat banyak hati dan pikiran terpaut
Para penyembah menyebut-nyebut
Juga tamak bersahut-sahut

Aku muak
Beban di punda berjingkat-bertingkat
Penanggungan berteriak
Putus hendak, pupus harap

Jauhlah aku
Jaraklah dari genap beku
Ke Saudi, Landa, atau Rusia
Pada padang, hutan, samudra, savana,
Kota-kota dan warna-warna
Atau sekadar tanah banua
Di mana sahaja
Gelanggang namaku diraba
Ruang semangatku dieja
Menjelma aku, dalam tiap sikap dan cipta
Bernafas, satu jiwa
Aku merenta,
Melawan manusia
Dikunyah-kunyah guna
  
15 Agustus 23

09 Juni 2023

Dengani Aku

Juni 09, 2023 0
Ilustrasi puisi "Dengani Aku"


Aku ingin melesak-rasuk
Pada tubuh kau, seluruh-utuh
Jauh dari sekalian riuh pisuh
Deru, eluh, satu dalam peluk

Dengani aku, halau sepi yang angkuh
Tumpah, pecahkan cawan hati yang keruh
Kutautkan jawab dan harap pada jari-jarimu
Kuraih ia lewat singgung-sentuh kulitmu
Kutunggu sampai kau datang
     sendiri, membawa kembang sedap malam
Hingga aromamulah nafasku
Dan suaramulah semangatku
Satu, satu, satu
Semua tanya melayang
Semua jawab menghilang
Lebur duka, dentur jiwa
Hibur aku dengan bunga-bunga dunia

Syahdan melesak-rasuklah aku
Seluruh-utuh dalam dadamu
Di kepala hanya ada hujan
Di genggaman bersembunyi nyanyian
Dengani aku,
Bisukan suara-suara sunyi itu

Malang, 9 Juni 2023



08 Juni 2023

Risau

Juni 08, 2023 0
Ilustrasi Puisi Risau


Risauku
Seperti mendung di musim kemarau
Melayang-layang di udara dengan ragu
Akankah hujan mungkin runtuh

Risauku
Seperti malam-malam para serdadu
Di belakang, kehormatan membeku
Di depan, menghadang meriam musuh

Risauku
Seperti derit ranjang para perayu
Dalam pahitnya noda-noda gincu
Ada doa-doa mendesah-lenguh

Risau adalah aku
Ketika niskarsa-karya
Risau adalah aku
Merasuk
Menentang keyakinan
Memupuk kesangsian

Malang, 8 Juni 2023

05 Juni 2023

Pertanyaan?

Juni 05, 2023 0


Ya...
Senantiasa....
Tanyaku, untuk apa
Hidup ini
Nafas ini
Roh ini
Tubuh ini
Akal ini
Nurani ini
Untuk apa?
Cuma bergerak-gerak, merusak-rusak
Cuma mengunyah-ngunyah, menyakit-nyakit
Cuma menyia-nyia, memenuh-sesak

Kadang pula kutanya
Hutan dan hujan
Tambak dan ladang
Laut dan gunung
Bumi dan bulan
Galaksi dan bintang
Planet dan bebatuan
Semesta dan ketiadaan
Untuk apa adanya?
Bukankah entah yang maha dahsyat jawabnya?

Sementara aku
Satu tubuh kecil dan hina ini
Apalah pula fungsinya
Hanya mengunyah dan berak saja
Hanya bangun dan tidur saja
Tak kerja, tak berharta, tak berwajah, tak bertahta, tak cendekia, tak taat jua
Selalu kubertanya, sejak aku remaja
Apalah guna aku ini diberi nyawa
Kalau bukan karna-Mu
Maka jelas akulah sia-sia

Malang, 5 Juni 2023

23 Mei 2023

Gita Cita

Mei 23, 2023 0

Gambar suai puisi "Gita Cita"

Orang-orang membuka pemukiman
Tempat sawah dan ladang menjadi komplek perumahan
Sementara gelandangan masih berebut selimut dengan lampu jalan
Sementara kolong-kolong adalah benteng dari panas-hujan
Aku ingin punya ruang makan
Tempat siapa saja boleh datang
Duduk berhadapan, dengan piring berisi panganan

Orang-orang membangun sekolahan
Desa-desa dijamuri yayasan pendidikan
Kota-kota digincu-bedaki universitas
Sementara bangku kelas adalah batu cadas
Sementara pelajar bersiap diri diperbudak
Mahasiswa mabuk di bawah pantat korporat
Aku ingin membuka dapur
Tempat siapa saja boleh memasak, melauk-sayur

Orang-orang membesarkan rumah ibadah
Langgar dipugar, surau mengilau
Menara-menara masjid dijulang, sajadah dilapis-bentang, panggilan lengking-lantang
Sementara muazin tua, imam sama renta
Sementara jemaat tak pernah ada
Aku ingin dirikan rumah
Tempat siapa saja boleh singgah
Di dalamnya sebuah pawon
Jua gudang kecil hasil kebon
Orang-orang makan secukupnya
Orang-orang memberi semampunya
Jangan ada lagi perut-perut kelaparan
Jangan ada lagi benda pangan dibuang

Ya, aku cita-citai, orang-orang saling menghidupi
Baku tolong, dan memanusiakan
Semoga Allah kabulkan
Aamiin.

Malang, 23 Mei 2023

17 Mei 2023

Menyerah

Mei 17, 2023 0


Ada dalam benakku
       "Apalah lelaki ini?
       tak berkepandaian, berpekerjaan, berpenghasilan?"
Jadi begitulah,
hidup begitu liar, tak gemar menurut cita-cita tuannya
Asa segala sirna, pegat hendak pula
Padahal aral apa tak ada
Tetiba hilang saja
Tetiba nirguna, aku jelma tiada

Jika iya, kupikir usah air mata jua
       kecuali keluarga, Na, cahaya
       Itu pun kupinta beberapa tetes sahaja
       (Sebagai tanda duka)
Lepas itu, hendaknya berbahagialah
Hiduplah dalam berkah

Aku dalam tanah, janganlah ditanam nisan
Biar tiadaku sempurna, habis, dan tuntas
Namaku membusuk, tinggal sepah
Puisiku membangkai, nguap di udara
Kuharap ada jua yang melebur dalam doa-semoga
Kerna apa lagi yang pantas aku pohonkan
selain doa-doa
yang melesat pada tiap-tiap tingkat
Itu saja, selebih dari itu adalah tiada
Puisi ini menyerah, pasrah sedalam-dalamnya
Sedang daging ini, bernafas dan gelisah hanya bisa

Kedung Kandang, 17 Mei 2023
sumber gambar: freepik.com



Toko Buku LNTRA
Hak Cipta Isi © Amry Rasyadany. Diberdayakan oleh Blogger.