Catatan 6 Maret 2025
Kucoba turut nasihat orang-orang alim:banyak-banyak sujud, banyak-banyak mengaji, banyak-banyak muhasabah diri. Semakin dimuhasabah, semakin aku sangsi. Kutemukan busuk-busuk yang ahli sembunyi di balik telingaku, di bawah lidahku, di ujung bulu mataku, di relung dadaku, di hanyut darahku, di alam pikirku, di tapak kaki dan tanganku, atau di gendonganku.
"Rupanya aku yang pendosa. Rupanya aku yang pendusta. Rupanya aku tukang khianat. Rupanya aku tukang maksiat. Rupanya hatiku yang keruh.
Rupanya pikiranku yang kumuh."
Lalu semua mandeg, henti di titik itu. Seperti kereta api kecepatan penuh membentur dinding tebing. Hancur, jadi puing. Bagaimana memperbaikinya? Bagaimana memulihkannya?
Apalagi aku adalah pengecut, minta maaf paling takut. Karena aku adalah luka besar yang tak pernah sembuh, kalau aku datang, luka pasti akan meradang.
Jadi apa? Aku cuma lelaki penganggur yang bukan apa-apa. Jadi benalu bagi pohon-pohon besar dalam rimba. Kalau bukan demi Nduk, maka untuk apa...