13 September 2018

Catatan 130918

  

 Cahaya,
   Telah berapa bulan aku henti berkesenian. Ada kurasa salah pada jalanku yang panjang. Kukira seni mampu menghidupiku, menjadikanku yang sesungguhnya aku. Tapi mungkin sungguhnya bukan begitu.
   Tau sendiri kau, seni macam apa yang aku piawai melakukannya? Musikku sekedar bunyi-bunyian ngawur saja. Gambarku cuma coret-coret tak tentu makna. Puisiku tak lebih dari rayu dan curahan picisan. Seni yang mana yang sungguh-sungguh aki?
   Sungguh. Aku berhenti bermusik, menggambar, dan berkata-kata. Lantas kau tau? Berbalas jua, ada kudapat panggilan kerja. Nah, mengapa tak sekalian saja sejak dulu kutinggalkan seni tak mutu itu.
   Maka berangkatlah aku ke Jakarta. Berat rasanya. Bukan karena Semarang telah menjadi tempat untuk pulang. Tapi Semarang punya banyak kenangan. Juga barang-barang rongsok koleksiku yang terpaksa harus dibuang. 
   Seminggu aku di Ibu Kota, tidurku tak nyaman. Maka pulanglah aku ke Semarang, bertemu kawan. Tertinggal pula kunci kamar di Jakarta, semacam teguran. Harusnya siang itu tak kuangkat kaki dari DKI.
   Dua malam di Semarang aku menumpang di kamar kawan, bertemu aku dengan Na. Berdua kami lampiaskan rindu. Kulepas pula rinduku pada panggung pertunjukkan. Meski sungguh telah kuputuskan berhenti, aku haus demi berseni lagi. 
   Minggu malam kulampiadkan musik dan puisi di Taman Budaya Raden Saleh. Sekaligus berpamitan aku pada kawan. Lepas itu aku akan pergi, entah kapan bisa berproses lagi.
   Aku memang telah bilang bahwa aku berhenti berkesenian. Tapi rindu tak kuasa kulawan. Di Semarang pula aku rasa sangat dirindukan. Yang membuat terharu, si Oyen Suketty yang kala itu tidur lekat-lekat denganku.  Bertahun kami bersama tak pernah ia semacam itu. Mungkin jika bisa menangis, menangis lah dia mengiring perginya aku.
  Tapi hidup terus jalan.  Bertolak lagi aku ke Jakarta dengan tak tau kapan lagi berjumpa pada rindu-rindu itu. Di Jakarta pun aku coba tak berkesenian. Meski lantas aku ke Cikini, agar bisa sedikit kurasa atmosfir kreatifitas orang-orang di sana. Kunikmati mereka yang sedang bersamrah, menari, dan berlatih teater.
   Hampir pun tiap malam kutilis bait-bait yang tentu hanya curahan tak berkepentingan. Juga gambar-gambar yang mesti tak ada artinya. Perlahan seni kembali datang. Kali ini dengan penuh sadar bahwa aku sama sekali tak mampu berkesenian.
   Diam-diam ada ketakutan dalam dadaku. Jika benar seni adalah penghalang, aku takut Jakarta hanyalah kesia-siaan. Tapi kuyakinkan padamu, kau akan temui aku dalam kekosongan jika seutuhnya dunia seni itu kitinggalkan.
   Lantas diaku harus apa? Di dalam kotak tembok daerah Meruya, Jakarta Barat, ada jiwa yang hampa agar bisa kerja dan mendewasa. Atau pemuda terlantar tak punya apa-apa kecuali sobekan kertas yang tak ada artinya.
   Cahaya, aku digerogoti resah. Lebih ganas dari rindu. Sedang aku hamba sahaya, tak bisa buat apa-apa.

Meruya, Jakarta Barat, 13 September 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Buku LNTRA
Hak Cipta Isi © Amry Rasyadany. Diberdayakan oleh Blogger.