13 Desember 2023

Menyongsong Era Mesin Pembuat Puisi


Pada tahun 1956, muncul konsep mengenai mesin yang dapat berpikir dan mengambil keputusan seperti layaknya manusia. Konsep ini dikenal dengan nama artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Baru pada tahun 2000-an, konsep tersebut mulai dikembangkan. Saat ini, mesin dengan kecerdasan buatan sudah ada di sekitar kita dan mulai mengambil peran di berbagai sektor kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, hukum, ekonomi, kesenian, dan banyak bidang lainnya. Dalam tulisan ini, perangkat dengan teknologi kecerdasan buatan yang dapat menciptakan puisi akan penulis sebut sebagai mesin pembuat puisi.

Tujuan awal dari lahirnya teknologi tentunya untuk mempermudah pekerjaan manusia. Demikian pula halnya dengan kecerdasan buatan. Kehadiran kecerdasan buatan mempermudah pekerjaan manusia dan membuat prosesnya menjadi lebih efektif dan efisien. Di sisi lain, banyak yang khawatir jika peran manusia dalam kehidupan nantinya digantikan oleh mesin. Kekhawatiran tersebut juga hinggap di benak para penyair. Saat ini, mesin dapat dengan mudah menciptakan puisi hanya dalam beberapa detik. Sepintas, penyair kalah telak dalam hal durasi penciptaan suatu karya. Namun apakah benar mesin pembuat puisi dapat menggantikan penyair?


sumber gambar: Freepik.com


Bagaimana Mesin Menciptakan Puisi

Mesin pembuat puisi menggunakan algoritma kompleks dalam proses operasinya. Mesin tersebut memiliki perbendaharaan kata yang sangat luas dari berbagai bahasa seluruh dunia berikut dengan segala gaya berbahasa penuturnya. Mesin pembuat puisi dari Google, yaitu Verse by Verse, dapat menciptakan puisi dengan kombinasi gaya penyair dunia seperti Emily Dickinson,  Edgar Allan Poe, Oliver Wendell Holmes, dan Emma Lazarus. Sedangkan mesin pembuat puisi lainnya, poemgenerator.io, mampu menciptakan puisi dengan tipe dan panjang yang dapat disesuaikan oleh penggunannya.

Mesin pembuat puisi juga mengolah preferensi pengguna sebagai upaya menghasilkan puisi yang “autentik”. Riwayat dari preferensi pengguna ini akan menjadi bahan belajar bagi mesin pembuat puisi sehingga nantinya puisi yang dihasilkan semakin berkembang dan bervariasi.

Proses belajar dalam wacana kecerdasan buatan dikenal dengan istilah deep learning (pembelajaran mendalam) dan dirancang untuk dapat bekerja seperti otak manusia. Deep learning bekerja melalui jaringan informasi yang sangat besar dan kemudian mencapai suatu kesimpulan sehingga apa yang awalnya hanya konsep dapat menjadi lebih jelas dan kompleks. Seperti yang dikutip dari Teachtarget.com:

To understand deep learning, imagine a toddler whose first word is dog. The toddler learns what a dog is -- and is not -- by pointing to objects and saying the word dog. The parent says, "Yes, that is a dog," or, "No, that is not a dog." As the toddler continues to point to objects, he becomes more aware of the features that all dogs possess. What the toddler is doing, without knowing it, is clarifying a complex abstraction: the concept of dog. They are doing this by building a hierarchy in which each level of abstraction is created with knowledge that was gained from the preceding layer of the hierarchy.

Kecerdasan buatan dapat mengklarifikasi suatu keniskalaan yang kompleks dengan membangun tingkatan pengetahuan. Pengetahuan yang baru dibangun berdasarkan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Hal yang membuatnya berbeda dengan manusia adalah sumber pembelajaran bagi kecerdasan buatan sangatlah luas dan tidak dibatasi oleh ketahanan fisik. Sedangkan sumber pembelajaran bagi otak manusia lebih sedikit dan sangat dibatasi oleh ketahanan fisik manusianya. Deep learning memungkinkan mesin pembuat puisi untuk mengembangkan kemampuannya. Misalnya, awalnya kata lembar hanya berkaitan dengan tema buku atau bacaan, namun di kemudian hari kata lembar dapat berkaitan dengan jenjang pendidikan atau tahapan kehidupan.

Meski terkesan canggih, mesin pembuat puisi tidak serta-merta dapat membuat puisi sesuai dengan kehendaknya. Mesin pembuat puisi membutuhkan manusia untuk memberi perintah. Rata-rata mesin pembuat puisi memerlukan gambaran tema dari puisi yang akan diciptakan. Kemudian untuk memperkuat puisinya, beberapa mesin pembuat puisi membutuhkan deskripsi singkat, atau gaya penyair mana yang akan ditiru, atau jenis puisi seperti apa yang akan dibuat. Pilihan tersebut berbeda-beda antar mesin. Satu hal yang pasti, diperlukan adanya sentuhan awal dari manusia sebagai modal bagi mesin pembuat puisi untuk dapat menghasilkan puisi yang sesuai dengan selera penggunanya.


Keunggulan Mesin Pembuat Puisi

Dilihat dari segi kecepatan, mesin pembuat puisi jauh lebih unggul ketimbang penyair. Dengan hanya mengetahui tema dan puisi seperti apa yang akan dibuat, mesin pembuat puisi dapat menghasilkan puisi dalam waktu sekian detik. Berbeda dengan penyair yang tentu butuh waktu lebih lama untuk menghasilkan sebuah puisi. Setidaknya penyair memerlukan waktu dalam hitungan menit untuk merenung, menimbang, dan mulai menulis puisinya. Beberapa penyair mungkin mengalami ledakan kata-kata yang tiba-tiba muncul di pikirannya dan dapat langsung ditulis menjadi puisi. Peristiwa seperti ini mungkin membuat penyair dapat menghasilkan puisi dengan lebih cepat. Namun hal tersebut dapat dikatakan sebagai “mukjizat” bagi penyair, tidak dapat diduga-duga, dan tidak dapat direncanakan terjadinya.

Penyair perlu memutar otak untuk menemukan diksi yang tepat demi mencapai nilai estetika yang diinginkan, misalnya dalam rima atau jumlah suku kata. Sedangkan mesin pembuat puisi tak butuh waktu banyak untuk mewujudkan hal tersebut.  Bahkan, mesin pembuat puisi memiliki banyak kata cadangan jika ternyata kata yang dipakai tidak sesuai dengan selera penggunanya.


Dampak Negatif dari Hadirnya Mesin Pembuat Puisi

Mesin pembuat puisi memungkinkan siapa saja dapat menulis puisi. Siswa sekolah dasar bisa saja menulis puisi dengan gaya berpuisi yang mirip Rendra atau Sapardi tanpa harus memiliki pengalaman menulis puisi sama sekali. Kemudahan ini akan memicu lahirnya penyair-penyair instan yang tidak bertanggung jawab. Ruang yang sangat mungkin terdampak adalah dunia pendidikan di mana dalam pelajaran bahasa, siswa terkadang dituntut untuk bisa menulis puisi. Siswa yang tidak bertanggung jawab akan menyepelekan tugas tersebut karena mesin pembuat puisi dapat menulis puisi untuk dia. Terlebih lagi jika diberi waktu beberapa hari untuk mengerjakan tugas tersebut. Alih-alih menggunakan waktu yang ada untuk merenung dan menghayati puisi yang akan dibuat, mesin pembuat puisi bahkan baru saja menciptakan puisi beberapa menit sebelum guru masuk kelas dan siswa dengan sigap menyalinnya ke buku tugas.

Selain dunia pendidikan, para pegiat sastra juga patut waspada. Mesin pembuat puisi dapat disalahgunakan oleh orang-orang yang ingin disebut sebagai penyair namun enggan menghabiskan daya pikirnya untuk membuat puisi. Orang-orang tersebut mengakui puisi yang diciptakan oleh mesin sebagai puisi yang mereka ciptakan sendiri. Hal tersebut tidak berbeda dengan plagiat, atau malah lebih berbahaya. Plagiarisme yang kita tahu selama ini merupakan suatu pelanggaran hak cipta di mana masih dapat ditelusuri karya aslinya. Sedangkan dalam kasus ini, karya asli yang dihasilkan oleh mesin pembuat puisi amat sukar ditelusuri, bahkan jika menggunakan mesin dan kata kunci yang sama, puisi yang dihasilkan sangat mungkin berbeda.

Selain itu, mesin pembuat puisi meniadakan satu hal penting dalam penciptaan puisi yaitu proses penciptaan puisi dari tiada menjadi ada. Penciptaan puisi merupakan serangkaian proses yang amat menentukan mutu dari puisi yang akan dihasilkan. Tiap-tiap penyair memiliki metodenya masing-masing dalam menulis puisi. Hal-hal yang biasa dilakukan oleh kebanyakan penyair adalah terlebih dahulu menentukan atau menemukan ide, memilih diksi, mengolah rima, bait, permajasan, dan banyak proses lainnya. Rangkaian proses tersebut ditentukan pula oleh daya kreatif dan jam terbang penyair dalam dunia kepenyairan. Proses penciptaan inilah yang menjadikan suatu puisi memiliki nilai di mata pembacanya serta dapat diukur tingkat mutunya.

Mesin pembuat puisi menjadikan suatu puisi tiba-tiba ada tanpa perlu dipikir dan ditimbang-timbang bagaimana rimanya, diksinya, gaya bahasanya, dan sebagainya. Hal ini seperti seseorang yang sebelumnya harus menanam padi, menunggunya hingga panen dan menjadi gabah, lalu mengolahnya menjadi beras, dan memasaknya menjadi nasi. Sementara, seseorang yang lain bisa langsung menyantap nasi hanya dengan memberikan beberapa lembar uang. Orang pertama sudah tentu memiliki penghargaan yang lebih tinggi atas nasi yang dia peroleh ketimbang orang kedua karena dia terlibat dalam proses pembuatan nasi tersebut dari tiada menjadi ada. Tanpa adanya proses penciptaan, maka suatu puisi menjadi tidak ada nilainya di mata pembaca. Ironisnya, puisi yang tak bernilai tersebut tidak hanya untuk puisi yang diciptakan oleh mesin namun juga berlaku pada puisi yang diciptakan oleh penyair. 


Bagaimana Kita Bersikap

Sejauh ini, keberadaan teknologi kecerdasan buatan masih terbatas pada mempermudah pekerjaan manusia. Mesin pembuat puisi tidak akan menciptakan puisi jika tak ada manusia yang memberinya perintah. Meski dapat menciptakan puisi dengan gaya penyair terkemuka, kekurangan (di sisi lain juga dipandang sebagai kelebihan) dari mesin pembuat puisi adalah tiadanya proses penciptaan yang berarti hilangnya ruh dari puisi.

Dalam proses penciptaan puisi terdapat pengalaman batin, emosi, serta kesadaran penyair. Asrul Sani menyebutkan bahwa emosi adalah tenaga pendorong dalam penciptaan dan keras-tidaknya tekanan suara yang dikeluarkan syair itu tergantung pada kuat tidaknya emosi yang diterima penyair untuk menolong dia mentransmisi perasaan.

Sementara itu, Keith J. Holyoak, menyatakan bahwa ketiadaan pengalaman batin juga berarti bahwa kecerdasan buatan tidak memiliki apa yang paling dibutuhkan untuk menghargai puisi: rasa kebenaran puitis, yang tidak didasarkan pada realitas objektif melainkan pada pengalaman subjektif.

Pengalaman batin dan emosi yang hanya dimiliki oleh manusia menjadikan puisi yang diciptakannya menjadi lebih hidup. Dengan begitu, puisi karangan penyair mendapatkan satu poin lebih unggul dari mesin pembuat puisi.

Poin unggul berikutnya yang sejauh ini belum dapat ditemukan oleh mesin pembuat puisi adalah sesuatu yang penulis sebut sebagai penyelewengan berbahasa. Dalam berpuisi, penyair bebas mencurahkan ekspresinya dalam berbagai bentuk. Terkadang terdapat beberapa kaidah berbahasa yang diselewengkan atau sengaja dihadirkan dalam wujud yang salah.

Demikian pula halnya dengan gaya selingkung dari penyair itu sendiri di mana tiap-tiap penyair tentu memiliki gaya selingkung yang berbeda. Sedangkan pada mesin pembuat puisi, gaya semacam itu didapat dari penyair-penyair yang telah ada sebelumnya. Penyelewengan berbahasa dan gaya selingkung yang murni dari penyair tentu belum ada dalam perbendaharaan informasi mesin pembuat puisi. 

Pada akhirnya, mau tidak mau, manusia harus hidup berdampingan dengan kecerdasan buatan. Para pegiat puisi pun harus bijaksana dalam mengambil sikap. Bagi para pembaca puisi, tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam membaca puisi karya penyair dan puisi yang diciptakan oleh mesin. Pembaca biasanya tidak terlalu ambil pusing mengenai bagaimana puisi tersebut dapat tercipta. Hanya saja diperlukan kesadaran dari para pembaca mengenai mana puisi yang memiliki ruh dan mana puisi yang hanya berupa wujud saja. Sementara para pembaca bagi kalangan akademisi dibutuhkan pengkajian lebih lanjut mengenai bagaimana menyikapi puisi-puisi yang dihasilkan oleh mesin. Apakah akan disamakan derajatnya dengan puisi ciptaan manusia ataukah berbeda.

Sedangkan bagi para penyair, kehadiran mesin pembuat puisi harus diiringi dengan keberanian bertanggung jawab. Sebelumnya, khazanah puisi biasa menghadirkan karya-karya terjemahan, saduran, serta adaptasi. Mesin pembuat puisi dapat menjadi asisten yang bermanfaat dalam perjalanan karir penyair. Bukankah penyair-penyair besar juga menerjemahkan, menyadur, dan mengadaptasi puisi dari penyair lainnya? Satu hal yang terpenting adalah keberanian bertanggung jawab serta jujur mengakui bahwa puisi yang diciptakan bermula dari puisi yang diciptakan oleh mesin.

Puisi yang dibuat oleh mesin adalah hal yang biasa-biasa saja. Bahkan walaupun kelak mesin dapat berpuisi berdasarkan kehendaknya dan murni dari kecerdasan yang dimiliki, hal tersebut tidak akan mengubah apa-apa. Bukankah selama ini puisi-puisi yang ada di sekitar kita juga demikian adanya? Ada atau tidak mesin pembuat puisi, siapa saja tetap dapat menciptakan puisi, puisi-puisi yang kosong maupun yang berbobot tetap berserakan di mana-mana untuk dibaca oleh siapa saja dan menilai berdasarkan kapasitasnya, dan plagiarisme tetap mungkin terjadi.


Daftar Referensi

Sani, Asrul. 1997. Surat-Surat Kepercayaan. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Buku LNTRA
Hak Cipta Isi © Amry Rasyadany. Diberdayakan oleh Blogger.