Malam datang, kau mengambang
Kau tinggalkan kesenangan
Kau tinggalkan taulan
Kau dengar nyanyianku menggelegar
Menggetar dinding tanah yang segar
Kemudian kau sadar, sadar
Di mataku, kau tak pernah pudar
Akulah inti paling sejati
Yang sentiasa tinggal dalam hati
Merangkul gelak gembira
Memapah pupus derita
Udara dingin, malam begitu asing
Kau tangkap nada paling hening
Hus! Pergilah ular bertaring
Hus! Enyahlah kalajengking
Ialah kidung kesayangan
Menyisir petak ruang makam
Dibawakannya cangkir dan robusta
Dibawakannya ubi dan bara
Fajar terbit di kepala
Ada yang menyala-nyala
Ialah lolong di udara
Ialah derap huru-hara
Lihatlah, butir-butiran zaman
Diobrak-abrik oleh sakaunya peradaban
Oleh genderang perang,
oleh ramai pemberontakan
Arwah-arwah yang bergentayangan
Menutup mata-telinga dengan kain kafan
Untuk apa mereka mendengar, untuk apa menyaksikan?
Sedang sangkakala belum lagi berkumandang
Nah, aku menjelma
Akankah kau mawas diri
Sementara huru-hara di mana-mana
Sementara gundah-gulana menghujani
Jangan berpaling
Tatap aku bening-bening
Resapi keindahanku
Buang khayal masa lalu
Jangan terlena
Meski aku beraga nusia
Ruh adalah makna paling murni
Meski dibungkus berlapis goni
Cahayanya teguh bersinar
Terang berpendar-pendar
Tabuh genderang, iringi senandung peradaban
Hari ini adalah masa depan
Di mana para pemuda melangkah dengan gagah
Pada jalan setapak yang megah
Sungguh, segala yang hanya menuju pada Yang Maha Kekal
Sementara banyak persimpangan mengarah pada gudang beras
Sementara banyak jalan tikus menuju brankas dan peti emas
Akan terbang, mengangkangi gelapnya palung sesal
Diam, tutup mulutmu dari bualan
Kau akan menyala, benderang
Seperti seorang guru dari Iran
Seperti kartika kejayaan
Teranglah, terang!
Seolah bumi dalam pangkuan
Malang/Kendal, April 2024
Disadur dari 'Remember Me' karya Jalaluddin Rumi, terjemahan Jonathan Star
Tidak ada komentar:
Posting Komentar