Tampilkan postingan dengan label Kumpulan Puisi Dampamu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kumpulan Puisi Dampamu. Tampilkan semua postingan

31 Juli 2021

Kumpulan Puisi Dampamu

Juli 31, 2021 0

Penyair adalah orang tua, sedang puisi adalah anak-anaknya. Sebagai anak, puisi terkadang hidup sesuai keinginan orang tuanya, menurut dan tunduk pada apa yang diangan-angankan oleh penyair ketika melahirkannya. Namun tak sedikit pula anak-anak yang menolak untuk patuh. Terkadang puisi-puisi juga punya jalan sendiri dalam menempuh hidupnya.

Sebagai orang tua, saya sepertinya tidak berharap banyak hal pada puisipuisi yang saya lahirkan. Memang ada beberapa yang ketika lahir saya harap akan menjadi sesuatu. Namun itu pun bukanlah hal yang saya paksakan. Jika benar terwujud, tentu saya akan bangga. Jika tidak maka tak mengapa. Puisi-puisi itu tau jalan terbaik menemui takdirnya.

Dampamu, adalah sebuah kebebasan. Ia adalah ikrar yang merestui kemerdekaan untuk apa saja, masuk di dalamnya untuk puisi-puisi. Setelah satu dasawarsa terhitung sejak puisi terlama yang saya arsipkan – tentu sebelum itu telah lahir puisi-puisi terdahulu yang tak diiringi oleh kesadaran saya pribadi untuk mendokumentasikannya sehingga lenyap begitu saja – saya menemukan betapa ternyata anak-anak yang lahir dari perenungan saya ini dengan dahsyat telah memilih jalan hidupnya masing-masing. Mereka telah menjadi seperti apa yang mereka mau. Seperti misalnya memilih untuk terus bertemu atau bersembunyi dari pembaca, dengan berani unjuk suara di berbagai ruang atau cukup hanya hadir di tulisan tangan saja, mencoba berbagai bentuk dari yang paling mudah dikenali hingga yang sukar dimengerti, hingga memilih untuk tetap diam atau yang berjuang menjadi bintang. Mereka semua bergerak, mereka semua hidup, mereka semua memilih. Di kemudian hari saya menyadari bahwa semua itu seperti berada di luar kendali saya sebagai orang tua. Maka saya katakan, “Dampamu. Jadilah seperti yang kalian mau. Jadilah abadi dengan cara sendiri-sendiri,” pada anak-anak itu, pada puisi-puisi itu.

Karena satu dasawarsa bukan rentang waktu yang sebentar, saya mencoba menggali apa yang menarik dalam puisi-puisi yang selama sepuluh tahun masih bisa saya temukan dan saya baca berulang-ulang. Kemudian saya menemukan Dampamu, puisi-puisi itu seolah-olah hadir begitu saja sesuka mereka tanpa mampu saya atur, tanpa bisa saya ukur. Maka Dampamu hadir dengan membawa puisi-puisi yang telah saya dan dua orang kurator (terimakasih kepada Luthfiana Garnis Safitri dan Noviana Sadam Dewanti) pilih untuk menjadi sebuah buku.

Dengan demikian, saya merasa Dampamu tak harus memuat puisi-puisi yang baik menurut nilai-nilai puisi yang saya anut. Bahkan beberapa puisi ada yang oleh saya di hari ini cukup berat untuk mengakui bahwa itu adalah sebuah puisi, meski ketika menulis itu saya sadar sedang menulis sebuah puisi.

Namun karena saya telah mengatakan “Dampamu” pada puisi-puisi itu, maka saya harus dengan jujur mengakui mereka apa adanya. Pula secara keseluruhan, saya mendapati kesan yang berubah-ubah antara puisi satu dan puisi lainnya baik dari gaya, bentuk, diksi, dan hal-hal lain yang membangun puisi-puisi itu yang (sekali lagi) seolah berada di luar kendali saya. Itu kemudian semakin menambah kesadaran saya bahwa anakanak saya ini memang memiliki jalannya sendiri-sendiri. 

Saya membatasi Dampamu selama satu dasawarsa. Saya memilih periode tahun 2009 hingga tahun 2018, selain karena puisi terlama yang saya temukan bertiti mangsa tahun 2009, juga karena periode ini mencangkup beberapa fase dari perjalanan hidup saya pribadi. Periode tersebut memuat masa-masa akhir saya di bangku SMA, sebagai mahasiswa baru, sebagai mahasiswa yang tak lagi baru, sebagai mahasiswa yang tak lagi kuliah, sebagai mahasiswa yang terancam drop outsebagai sarjana yang pengangguran, sebagai guru, masa-masa awal sebagai pekerja kantoran, juga sebagai seorang lelaki yang telah tiba masanya meminang seorang perempuan. Kekayaan fase tersebut yang akhirnya membuat saya memilih bahwa inilah rentang waktu yang pas.

Setelah melewati semua proses pra terbit yang lumayan panjang dan maju mundur. Dengan perasaan bahagia kini Dampamu telah berada di tangan pembacanya. Semoga Dampamu dapat menjadi bacaan yang bermanfaat.

Terimakasih telah membaca.

Jakarta, September 2019



17 September 2017

Rindu Cahaya

September 17, 2017 0
Apalah gemetar dalam dada
Apalah gemuruh dalam jiwa

Di mana dami beningnya sukma?
Di mana rindu mengubur luka?

Matahari terburu berlari
Mencuri mimpi suara sunyi
Bintang-bintang tak mampu menggati
Hati ini risau di panji-panji

Rembulan berbisik-bisik jengah
Di langit-langit petang yang pasrah
Adakah sesuatu yang patah?
Adakah gema jantung yang resah?

Swaramu senantiasa tumpah
Membentur dinding puri hikmah
Dan aku tak akan lupa tanah
Meski pulang terkutuk dan bertuah

Dengarlah air hujan yang runtuh
Merasuk luruh segala tubuh
Hidup ini kerontang benar sungguh
Manusia ini rindu cahaya utuh

Biarlah gelap jadi prasangka
Cahya itu takkan ingkar janjinya
Jiwa-jiwa kembali pada surya
Saatnya tiba, kita berpisah jua

Gebyog, 17 September 2017
Toko Buku LNTRA
Hak Cipta Isi © Amry Rasyadany. Diberdayakan oleh Blogger.