“Siapa tunggal aaa...jak!”
Lima
orang bocah Gang Ketapi melempar tangan. Dua orang dengan telapak terbuka. Tiga
orang dengan telapak tertutup. Tak ada yang tunggal.
“Aaa...jak!”
Mereka mengulangi ritual sebelumnya dengan mantra yang
diringkas. Dua orang menyodorkan telapak tangan yang tertutup. Tiga orang
dengan telapak tangan terbuka. Masih tak ada yang tunggal.
“Aaa...jak!”
Empat
orang tertutup. Satu orang terbuka. Yang tertutup langsung berlarian
menyelamatkan diri masing-masing. Anak pemilik telapak tangan terbuka langsung
menggapai-gapai tubuh terdekat. Di sinilah kemampuan lari anak-anak Gang Ketapi
diuji. Tak hanya soal kecepatan, tapi juga soal ketangkasan dalam menghindari
sentuhan Si Ajak.
Inilah
dia ajakan, yang dimainkan oleh tiga orang atau lebih. Sebagai permulaan, para
pemain harus menentukan dulu siapa yang ajak dengan mengucapkan kalimat semacam
mantra, “siapa tunggal ajak!” lalu menunjukkan telapak tangan secara bersamaan.
Dalam rentang waktu sepersekian detik inilah yang menentukan akan menempati posisi apa kita
dalam permainan. Apa pun pilihannya. Telapak tangan tertutup dengan
memperlihatkan punggung tangan berwarna gelap. Atau telapak tangan yang terbuka
sehingga menampilkan bagian kulit yang berwarna terang.Keduanya tak jadi soal
jika tidak sendirian. Namun akan menjadi soal jika pilihan itu tak ada yang menyamai.
Dalam hal ini, sang pemilik telapak tangan yang sendirian harus benar-benar
sadar dengan segera bahwa dialah yang ajak. Pula harus segera menyentuh
tubuh siapa saja sebelum tubuh-tubuh itu berlarian dan semakin jauh jaraknya.
Maka
sejak itulah dimulai kegiatan kejar-mengejar. Si Ajak akan mengejar para pemain
lain. Jika pemain lain tersentuh oleh Si Ajak, maka Si Ajak akan berseru dengan
lantang, “Ajak!” Bersamaan dengan keluarnya seruan itu, predikat ajak yang sebelumnya
dibebankan pada anak yang menyentuh akan segera merambat. Menjalar dengan cepat
melalui tangan, hingga jari-jari paling ujung, sampai pada titik temu. Lalu dengan
bahasa yang paling imajinatif, predikat ajak telah berpindah dari suatu benda
hidup ke benda hidup yang lainnya. Kini beristirahatlah si Mantan Ajak. Karena dalam
sebuah peraturan yang tak pernah diketahui siapa yang membuatnya, Si Ajak tidak
boleh mengembalikan predikat ajak yang dia emban kepada Si Ajak sebelumnya.
Maka
meriahlah seketika suasana lapangan takraw di salah satu sudut Gang Ketapi
siang itu. Debu-debu beterbangan dari tanah yang bergesekan dengan
telapak-telapak kaki yang telanjang. Suara berdebum oleh hentakan-hentakan
betis anak-anak yang berlarian di dalam garis lapangan dikirim lewat angin yang
kering. Lalu suara itu membentur gendang telinga Anak Bawang.
“Nah!
Permainan sudah dimulai rupanya,” Anak Bawang membatin dalam hatinya yang
gundah. Dunia anak-anak membawanya pada hasrat yang luar biasa membuncah untuk
segera turun ke tanah, bertelanjang kaki dan berlari-larian seperti anak-anak
lainnya. Namun sebagai anak manusia yang senantiasa hidup dalam lingkaran
aturan-aturan, dalam hati Anak Bawang yang kecil ada sebuah aturan yang
mengharuskan ia patuh pada perintah ibu untuk segera tidur siang.
Dalam
kesangsiannya mengambil sikap, Anak Bawang menutup pelupuk matanya. Indera
penglihatannya hanya menangkap ruang kosong tanpa cahaya. Sedang pendengarannya
telah berlari-lari. Melesat dengan gesit. Menghindari sentuhan Si Ajak. Ia berlari-lari
menjelajahi seluruh ruang dalam lapangan takraw itu. Pandangannya awas
mengira-ngira jarak aman antara Si Ajak dengan tubuhnya. Juga memperhatikan
kakinya agar tak melampaui garis lapangan yang terbuat dari kayu reng selebar
lima senti yang ditanam di tanah secara horizontal. Karena jika anggota
tubuhnya melewati garis sedikit saja, maka berpindahlah dengan segera predikat
ajak kepada dirinya melalui udara. Dalam penglihatannya yang gelap,
bayang-bayang di lapangan itu menjadi lebih jelas terpampang di depan matanya. Kemeriahan
kecil yang terjadi di lapangan takraw seolah-olah hadir di hadapan Anak Bawang
dan kian menyata dan mewujud. Jelas dan semakin jelas.
Hingga
keterlibatan Anak Bawang dalam permaian ajakan itu semakin larut. Dan tanpa
permisi telah menerobos masuk ke alam bawah sadarnya. Anak Bawang masih
berlarian. Ikut melesat dan menghindar dari sentuhan tangan Si Ajak. Dengan visual
yang dipaparkan oleh sel-sel otaknya berbahan dasar potongan-potongan memori
yang pernah tersimpan. Dan getaran audio yang disiarkan secara langsung dari
lapangan takraw dekat rumahnya senantiasa menembuas gendang telinganya yang tak
pernah tidur. Terlibatlah Anak Bawang dalam sebuah permainan kejar-mengejar
yang nyata dalam tidur siang yang tenang.
Alam
dengan begitu bijaksananya menorehkan skenario yang adil. Kesangsian Anak
Bawang terhadap dua hal – antara haknya sebagai anak-anak untuk turut bermain
bersama kawan sebaya dan kewajibannya sebagai anak manusia untuk patuh pada
perindah manusia yang melahirkannya – bukan lagi merupakan masalah. Alam telah
memberikan keduanya pada Anak Bawang agar bisa bermain dan berbakti.
Semarang, 2016
Dimuat di Majalah Merah Putih edisi
84/Februari 2016 halaman 33
Ajak :
jadi
Ajakan :
permainan kejar-kejaran
Ketapi :
kecapi (Sandoricum koecape)
Siapa tunggal ajak : kalimat yang biasa
diucapkan ketikan akan menentukan siapa yang “jadi” dalam sebuah permainan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar