20 November 2017

Siapa Tunggal Ajak




            “Siapa tunggal aaa...jak!”
Lima orang bocah Gang Ketapi melempar tangan. Dua orang dengan telapak terbuka. Tiga orang dengan telapak tertutup. Tak ada yang tunggal.
            “Aaa...jak!”
            Mereka mengulangi ritual sebelumnya dengan mantra yang diringkas. Dua orang menyodorkan telapak tangan yang tertutup. Tiga orang dengan telapak tangan terbuka. Masih tak ada yang tunggal.
“Aaa...jak!”
Empat orang tertutup. Satu orang terbuka. Yang tertutup langsung berlarian menyelamatkan diri masing-masing. Anak pemilik telapak tangan terbuka langsung menggapai-gapai tubuh terdekat. Di sinilah kemampuan lari anak-anak Gang Ketapi diuji. Tak hanya soal kecepatan, tapi juga soal ketangkasan dalam menghindari sentuhan Si Ajak.
Inilah dia ajakan, yang dimainkan oleh tiga orang atau lebih. Sebagai permulaan, para pemain harus menentukan dulu siapa yang ajak dengan mengucapkan kalimat semacam mantra, “siapa tunggal ajak!” lalu menunjukkan telapak tangan secara bersamaan. Dalam rentang waktu sepersekian detik inilah yang menentukan akan menempati posisi apa kita dalam permainan. Apa pun pilihannya. Telapak tangan tertutup dengan memperlihatkan punggung tangan berwarna gelap. Atau telapak tangan yang terbuka sehingga menampilkan bagian kulit yang berwarna terang.Keduanya tak jadi soal jika tidak sendirian. Namun akan menjadi soal jika pilihan itu tak ada yang menyamai. Dalam hal ini, sang pemilik telapak tangan yang sendirian harus benar-benar sadar dengan segera bahwa dialah yang ajak. Pula harus segera menyentuh tubuh siapa saja sebelum tubuh-tubuh itu berlarian dan semakin jauh jaraknya.
Maka sejak itulah dimulai kegiatan kejar-mengejar. Si Ajak akan mengejar para pemain lain. Jika pemain lain tersentuh oleh Si Ajak, maka Si Ajak akan berseru dengan lantang, “Ajak!” Bersamaan dengan keluarnya seruan itu, predikat ajak yang sebelumnya dibebankan pada anak yang menyentuh akan segera merambat. Menjalar dengan cepat melalui tangan, hingga jari-jari paling ujung, sampai pada titik temu. Lalu dengan bahasa yang paling imajinatif, predikat ajak telah berpindah dari suatu benda hidup ke benda hidup yang lainnya. Kini beristirahatlah si Mantan Ajak. Karena dalam sebuah peraturan yang tak pernah diketahui siapa yang membuatnya, Si Ajak tidak boleh mengembalikan predikat ajak yang dia emban kepada Si Ajak sebelumnya.
Maka meriahlah seketika suasana lapangan takraw di salah satu sudut Gang Ketapi siang itu. Debu-debu beterbangan dari tanah yang bergesekan dengan telapak-telapak kaki yang telanjang. Suara berdebum oleh hentakan-hentakan betis anak-anak yang berlarian di dalam garis lapangan dikirim lewat angin yang kering. Lalu suara itu membentur gendang telinga Anak Bawang.
“Nah! Permainan sudah dimulai rupanya,” Anak Bawang membatin dalam hatinya yang gundah. Dunia anak-anak membawanya pada hasrat yang luar biasa membuncah untuk segera turun ke tanah, bertelanjang kaki dan berlari-larian seperti anak-anak lainnya. Namun sebagai anak manusia yang senantiasa hidup dalam lingkaran aturan-aturan, dalam hati Anak Bawang yang kecil ada sebuah aturan yang mengharuskan ia patuh pada perintah ibu untuk segera tidur siang.
Dalam kesangsiannya mengambil sikap, Anak Bawang menutup pelupuk matanya. Indera penglihatannya hanya menangkap ruang kosong tanpa cahaya. Sedang pendengarannya telah berlari-lari. Melesat dengan gesit. Menghindari sentuhan Si Ajak. Ia berlari-lari menjelajahi seluruh ruang dalam lapangan takraw itu. Pandangannya awas mengira-ngira jarak aman antara Si Ajak dengan tubuhnya. Juga memperhatikan kakinya agar tak melampaui garis lapangan yang terbuat dari kayu reng selebar lima senti yang ditanam di tanah secara horizontal. Karena jika anggota tubuhnya melewati garis sedikit saja, maka berpindahlah dengan segera predikat ajak kepada dirinya melalui udara. Dalam penglihatannya yang gelap, bayang-bayang di lapangan itu menjadi lebih jelas terpampang di depan matanya. Kemeriahan kecil yang terjadi di lapangan takraw seolah-olah hadir di hadapan Anak Bawang dan kian menyata dan mewujud. Jelas dan semakin jelas.
Hingga keterlibatan Anak Bawang dalam permaian ajakan itu semakin larut. Dan tanpa permisi telah menerobos masuk ke alam bawah sadarnya. Anak Bawang masih berlarian. Ikut melesat dan menghindar dari sentuhan tangan Si Ajak. Dengan visual yang dipaparkan oleh sel-sel otaknya berbahan dasar potongan-potongan memori yang pernah tersimpan. Dan getaran audio yang disiarkan secara langsung dari lapangan takraw dekat rumahnya senantiasa menembuas gendang telinganya yang tak pernah tidur. Terlibatlah Anak Bawang dalam sebuah permainan kejar-mengejar yang nyata dalam tidur siang yang tenang.
Alam dengan begitu bijaksananya menorehkan skenario yang adil. Kesangsian Anak Bawang terhadap dua hal – antara haknya sebagai anak-anak untuk turut bermain bersama kawan sebaya dan kewajibannya sebagai anak manusia untuk patuh pada perindah manusia yang melahirkannya – bukan lagi merupakan masalah. Alam telah memberikan keduanya pada Anak Bawang agar bisa bermain dan berbakti.

Semarang, 2016
Dimuat di Majalah Merah Putih edisi 84/Februari 2016 halaman 33
 
Ajak                              : jadi

Ajakan                         : permainan kejar-kejaran

Ketapi                          : kecapi (Sandoricum koecape)

Siapa tunggal ajak    : kalimat yang biasa diucapkan ketikan akan menentukan siapa yang “jadi” dalam sebuah permainan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Buku LNTRA
Hak Cipta Isi © Amry Rasyadany. Diberdayakan oleh Blogger.