Langit
malam berselimut awan warna kemuning. Bulan sedang penuh. Cahayanya menyamarkan
bintang-bintang. Anak-anak manusia bermain di bawah sinar purnama. Para orangtua
sibuk bercengkrama sambil mengawasi anak-anak mereka.
Tapi
cerita ini tidak memakai manusia sebagai tokohnya. Mengingat kebanyakan manusia
tidak terlalu merindukan bulan. Bahkan kebanyakan manusia hanya tahu seorang
saja yang pernah bertemu bulan: Amstrong. Itu pun kebanyakan manusia lainnya
percaya bahwa kabar itu bohong. Jadi sekali lagi ditegaskan bahwa cerita ini
tidak mengambil manusia sebagai tokohnya. Untuk apa menceritakan manusia yang
tidak merindukan bulan?
Coba
lihat di rimbunnya pepohonan. Yang bertengger pada dahan. Yang dibelai
daun-daun. Yang dibuai angin malam. Pungguk-pungguk dimabuk pesona primadona
langit malam. Seperti moyang mereka. Bahkan sebelum mereka tahu bahwa yang
mereka puja-puja di langit itu bernama Bulan.
Pungguk-pungguk
sebagai makhluk simbol kecerdasan dan kebijaksanaan benar-benar paham akan kodratnya
sebagai pemuja Bulan. Tak ada yang lebih sakral dari pada bertengger di
dahan-dahan saat bulan sedang penuh. Tak ada yang lebih mistis ketimbang
tatapan-tatapan syahdu pungguk yang memandang khidmat ke langit yang benderang.
Bagi
mereka, para pungguk itu, memuja-muja Bulan dengan memandanginya saat malam
sedang terang sudah seperti kegiatan kebatinan. Menjadi semacam ibadah yang
mampu menyegarkan jiwa-jiwa yang kering. Menjadi semacam kebutuhan religius. Mata
mereka khusyuk memandang Bulan yang berjalan pelan. Kaki mereka tak goyah
menopang badan di atas dahan. Juga sayap-sayap dan ulu-bulu yang tidak bergerak
meski nyamuk-nyamuk mengerubungi tubuh mereka.
Begitu
kuatnya daya magis sebuah purnama bagi para pungguk itu. Sampai-sampai mereka tak
lagi sadar bahwa di bawah sana, di balik semak-semak, sebuah jari telah siap
menarik pelatuk.tak berapa lama, para pungguk bubar mengangkasa. Kekhusyukan ibadah
mereka malam ini terganggu. Di langit mereka berputar-putar sambil berkukuk. Suaranya
menggema memenuhi ruang. Menjalar lewat udara yang lembab oleh embun yang mulai
turun, lalu menabrak tebing, pohon-pohon, gunung-gunung, dan tembok-tembok
beton lambang keangkuhan manusia. Suara-suara pungguk itu memantul-mantul dan
kembali lagi ke telinga mereka menjelma sebagai gema.
“Ada
lagi yang mati?” seekor pungguk di pohon lain bertanya pada rekan yang
bertengger di sebelahnya ketika mendengar suara ledakan dan pungguk-pungguk di
pohon tetangga beterbangan.
“Sepertinya
begitu.” kata pungguk yang ditanyai.
“Hampir
setiap purnama selalu ada yang menjadi tumbal.” Pungguk lainnya menimpali.
“Setidaknya,
dia mati di hari yang baik. Lihatlah, Bulan sedang terang begini. Bukankah ini
benar-benar hari yang indah untuk mati?” pungguk lainnya ikut ambil suara.
“Ya,
benar juga. Ayo kita tengok mereka. Tak baik jika kita mengetahui kabar
kematian seseekor sedang kita tak melayat.” Burung-burung pungguk lain mulai
berdatangan.
Lalu
mereka ikut terbang meninggalkan sarang. Meninggalkan ibadah mereka sejenak
untuk melayat di lelayu. Mereka bergabung bersama pungguk lain yang telah tiba
lebih dulu dan berputar-putar di angkasa. Pungguk-pungguk itu saling berkukuk
bersahutan. Suara mereka adalah doa-doa yang dikirim untuk arwah si mati.
Di
bawah sana seekor pungguk berwarna kelabu meregang nyawa. Mata kirinya hancur
ditembus pelor panas. Darah mengucur deras. Tubuhnya menggelepar. Bulu-bulu
rontok melayang-layang seiring dengan jiwanya yang sedikit demi sedikit lepas
dari raga.
Burung-burung
punggguk masih berputar-putar di angkasa yang berselimut awan warna kemuning. Burung-burung
lain yang mendengar kabar turut berdatangan dan ikut bercampur. Suara pungguk-pungguk
itu adalah doa agar diterima segala kebaikan si mati selama di dunia. Agar diampuni
pula kesalahannya.
Awan
kemuning kian lama kian abu-abu. Purnama sedang sembunyi. Kekhusyukan ibadah
malam para pungguk berganti dengan lafal-lafal doa kematian. Pandangan-pandangan
penuh rindu yang tercipta secara kodrati dalam setiap diri burung pungguk
berubah menjadi kidung sendu di dua per tiga malam.
Seekor
burung kecil berwarna cokelat datang dan ikut berputar bersama pungguk-pungguk
itu. Ikut pula ia melantunkan doa-doa bernada sendu. Namun doanya terdengar
beda, tentunya karena burung kecil berwarna cokelat itu bukanlah seekor
pungguk.
Lalu
angkasa tetiba hening. Pungguk-pungguk menghentikan doanya. Sambil terus
berputar, mereka mencuri-curi pandang pada burung kecil berwarna cokelat. Tak sedikit
pula dari pandang yang mereka curi-curi itu berubah menjadi tatapan sinis
sambil mereka dengarkan pula doa yang keluar dari cuitannya.
“Siapa
dia?” salah satu pungguk bertanya pada pungguk yang terbang di belakangnya.
“Tak
tahu.” Pungguk di belakangnya menjawab.
“Doanya
terdengar berbeda.” Sahut pungguk di belakangnya lagi.
“Dia
bukanlah pungguk. Lihatlah paruhnya yang begitu lurus dan pendek. Kedua matanya
menghadap kesamping. Tak seperti kita yang berparuh melengkung dan selalu
memandang ke depan.” Pungguk yang di belakangnya lagi menimpali.
“Ya,
benar juga. Dia bukan pungguk. Tak seharusnya ia di sini.”
“Saya
setuju. Kehadirannya mengotori doa-doa kita.”
“Lihat!
Rembulan bersembunyi di balik awan berwarna kelabu.”
“Astaga!
Apa yang telah kita lakukan. Kita keterlaluan membiarkan burung kecil itu
bergabung dalam forum ini.”
“Usir
dia. Dia tak boleh ada di sini.”
“Ya
benar. Dia harus pergi. Dia bukanlah pungguk. Dia mengotori kesucian kita.”
Pungguk-pungguk
satu per satu menyambar burung kecil berwarna cokelat. Menampar dengan sayap
mereka. Mematuk dengan paruh mereka. Mencabik dengan cakar mereka. Ada pula
yang menghantamkan tubuh mereka yang besar. Segala mereka lalukan untuk
menyakiti burung kecil berwarna cokelat.
Burung
kecil berwarna cokelat itu terus berkicau melafalkan doa pada kawannya, pungguk
yang baru saja kehilangan nyawa di bawah sana. Sedang pungguk-pungguk di atas
sini tak tahu-menahu tentang apa yang sebenarnya burung kecil itu perbuat. Dan mereka
tenggelam dalam ketidaktahuannya.
Burung
kecil berwarna cokelat bersimbah darah. Kulitnya penuh luka dan memar. Bulu-bulunya
rontok. Sedang pungguk-pungguk semakin beringas. Bahkan ada yang menyerang
sambil menyebut-nyebut nama Bulan, “atas nama Bulan yang agung!” lalu mereka
menerjang dan menendang. Seolah-olah hal itu juga menjadi bagian dari kegiatan
spiritual mereka. Seolah-olah serangan ini sama sakralnya dengan kegiatan
mereka memandangi Bulan setiap lewat tengah malam.
Burung
kecil berwarna cokelat gagal mempertahankan nyawa. Ia jatuh di samping jasad
kawannya. Di atas sana pungguk-pungguk melontarkan sumpah serapah. Kutukan-kutukan
dan doa-doa yang buruk. Mereka berkukuk dengan suara nyaring dan penuh ambisi. Penuh
aura anarki. Keras, terlampau percaya diri, dan mengusik ketenangan malam
purnama. Sedang bulan tetap bersembunyi di balik awan hingga fajar tiba. Pungguk
kian lupa akan jati dirinya.
Sekali
lagi cerita ini bukan tentang manusia. Maski ada sedikit manusia di dalamnya. Sedikit
sekali. Jika para pembaca tak paham, maka tak usah risau. Karena pengarang
yakin, para pembaca sekalian adalah manusia. Sedang cerita ini bukanlah tentang
manusia. Ini tentang burung pungguk yang selalu merindukan bulan. Namun jika
ada di antara pembaca yang paham, barangkali pembaca punya hubungan erat dengan
pungguk-pungguk tadi. Sebagai penutup, pengarang mengumumkan bahwa cerita
pungguk ini belum selesai. Di kemudian hari mungkin akan ada perilaku-perilaku
pungguk yang dirasa perlu diceritakan kepada manusia untuk dijadikan pelajaran.
Bukan untuk diikuti jejaknya. Sekian dan terimakasih.
Semarang, 2016
Dimuat dalam Majalah Merah Putih
edisi 85 halaman 33