20 November 2017

Pungguk dan Burung Kecil Berwarna Cokelat




Langit malam berselimut awan warna kemuning. Bulan sedang penuh. Cahayanya menyamarkan bintang-bintang. Anak-anak manusia bermain di bawah sinar purnama. Para orangtua sibuk bercengkrama sambil mengawasi anak-anak mereka.
Tapi cerita ini tidak memakai manusia sebagai tokohnya. Mengingat kebanyakan manusia tidak terlalu merindukan bulan. Bahkan kebanyakan manusia hanya tahu seorang saja yang pernah bertemu bulan: Amstrong. Itu pun kebanyakan manusia lainnya percaya bahwa kabar itu bohong. Jadi sekali lagi ditegaskan bahwa cerita ini tidak mengambil manusia sebagai tokohnya. Untuk apa menceritakan manusia yang tidak merindukan bulan?
Coba lihat di rimbunnya pepohonan. Yang bertengger pada dahan. Yang dibelai daun-daun. Yang dibuai angin malam. Pungguk-pungguk dimabuk pesona primadona langit malam. Seperti moyang mereka. Bahkan sebelum mereka tahu bahwa yang mereka puja-puja di langit itu bernama Bulan.
Pungguk-pungguk sebagai makhluk simbol kecerdasan dan kebijaksanaan benar-benar paham akan kodratnya sebagai pemuja Bulan. Tak ada yang lebih sakral dari pada bertengger di dahan-dahan saat bulan sedang penuh. Tak ada yang lebih mistis ketimbang tatapan-tatapan syahdu pungguk yang memandang khidmat ke langit yang benderang.
Bagi mereka, para pungguk itu, memuja-muja Bulan dengan memandanginya saat malam sedang terang sudah seperti kegiatan kebatinan. Menjadi semacam ibadah yang mampu menyegarkan jiwa-jiwa yang kering. Menjadi semacam kebutuhan religius. Mata mereka khusyuk memandang Bulan yang berjalan pelan. Kaki mereka tak goyah menopang badan di atas dahan. Juga sayap-sayap dan ulu-bulu yang tidak bergerak meski nyamuk-nyamuk mengerubungi tubuh mereka.
Begitu kuatnya daya magis sebuah purnama bagi para pungguk itu. Sampai-sampai mereka tak lagi sadar bahwa di bawah sana, di balik semak-semak, sebuah jari telah siap menarik pelatuk.tak berapa lama, para pungguk bubar mengangkasa. Kekhusyukan ibadah mereka malam ini terganggu. Di langit mereka berputar-putar sambil berkukuk. Suaranya menggema memenuhi ruang. Menjalar lewat udara yang lembab oleh embun yang mulai turun, lalu menabrak tebing, pohon-pohon, gunung-gunung, dan tembok-tembok beton lambang keangkuhan manusia. Suara-suara pungguk itu memantul-mantul dan kembali lagi ke telinga mereka menjelma sebagai gema.
“Ada lagi yang mati?” seekor pungguk di pohon lain bertanya pada rekan yang bertengger di sebelahnya ketika mendengar suara ledakan dan pungguk-pungguk di pohon tetangga beterbangan.
“Sepertinya begitu.” kata pungguk yang ditanyai.
“Hampir setiap purnama selalu ada yang menjadi tumbal.” Pungguk lainnya menimpali.
“Setidaknya, dia mati di hari yang baik. Lihatlah, Bulan sedang terang begini. Bukankah ini benar-benar hari yang indah untuk mati?” pungguk lainnya ikut ambil suara.
“Ya, benar juga. Ayo kita tengok mereka. Tak baik jika kita mengetahui kabar kematian seseekor sedang kita tak melayat.” Burung-burung pungguk lain mulai berdatangan.
Lalu mereka ikut terbang meninggalkan sarang. Meninggalkan ibadah mereka sejenak untuk melayat di lelayu. Mereka bergabung bersama pungguk lain yang telah tiba lebih dulu dan berputar-putar di angkasa. Pungguk-pungguk itu saling berkukuk bersahutan. Suara mereka adalah doa-doa yang dikirim untuk arwah si mati.
Di bawah sana seekor pungguk berwarna kelabu meregang nyawa. Mata kirinya hancur ditembus pelor panas. Darah mengucur deras. Tubuhnya menggelepar. Bulu-bulu rontok melayang-layang seiring dengan jiwanya yang sedikit demi sedikit lepas dari raga.
Burung-burung punggguk masih berputar-putar di angkasa yang berselimut awan warna kemuning. Burung-burung lain yang mendengar kabar turut berdatangan dan ikut bercampur. Suara pungguk-pungguk itu adalah doa agar diterima segala kebaikan si mati selama di dunia. Agar diampuni pula kesalahannya.
Awan kemuning kian lama kian abu-abu. Purnama sedang sembunyi. Kekhusyukan ibadah malam para pungguk berganti dengan lafal-lafal doa kematian. Pandangan-pandangan penuh rindu yang tercipta secara kodrati dalam setiap diri burung pungguk berubah menjadi kidung sendu di dua per tiga malam.
Seekor burung kecil berwarna cokelat datang dan ikut berputar bersama pungguk-pungguk itu. Ikut pula ia melantunkan doa-doa bernada sendu. Namun doanya terdengar beda, tentunya karena burung kecil berwarna cokelat itu bukanlah seekor pungguk.
Lalu angkasa tetiba hening. Pungguk-pungguk menghentikan doanya. Sambil terus berputar, mereka mencuri-curi pandang pada burung kecil berwarna cokelat. Tak sedikit pula dari pandang yang mereka curi-curi itu berubah menjadi tatapan sinis sambil mereka dengarkan pula doa yang keluar dari cuitannya.
“Siapa dia?” salah satu pungguk bertanya pada pungguk yang terbang di belakangnya.
“Tak tahu.” Pungguk di belakangnya menjawab.
“Doanya terdengar berbeda.” Sahut pungguk di belakangnya lagi.
“Dia bukanlah pungguk. Lihatlah paruhnya yang begitu lurus dan pendek. Kedua matanya menghadap kesamping. Tak seperti kita yang berparuh melengkung dan selalu memandang ke depan.” Pungguk yang di belakangnya lagi menimpali.
“Ya, benar juga. Dia bukan pungguk. Tak seharusnya ia di sini.”
“Saya setuju. Kehadirannya mengotori doa-doa kita.”
“Lihat! Rembulan bersembunyi di balik awan berwarna kelabu.”
“Astaga! Apa yang telah kita lakukan. Kita keterlaluan membiarkan burung kecil itu bergabung dalam forum ini.”
“Usir dia. Dia tak boleh ada di sini.”
“Ya benar. Dia harus pergi. Dia bukanlah pungguk. Dia mengotori kesucian kita.”
Pungguk-pungguk satu per satu menyambar burung kecil berwarna cokelat. Menampar dengan sayap mereka. Mematuk dengan paruh mereka. Mencabik dengan cakar mereka. Ada pula yang menghantamkan tubuh mereka yang besar. Segala mereka lalukan untuk menyakiti burung kecil berwarna cokelat.
Burung kecil berwarna cokelat itu terus berkicau melafalkan doa pada kawannya, pungguk yang baru saja kehilangan nyawa di bawah sana. Sedang pungguk-pungguk di atas sini tak tahu-menahu tentang apa yang sebenarnya burung kecil itu perbuat. Dan mereka tenggelam dalam ketidaktahuannya.
Burung kecil berwarna cokelat bersimbah darah. Kulitnya penuh luka dan memar. Bulu-bulunya rontok. Sedang pungguk-pungguk semakin beringas. Bahkan ada yang menyerang sambil menyebut-nyebut nama Bulan, “atas nama Bulan yang agung!” lalu mereka menerjang dan menendang. Seolah-olah hal itu juga menjadi bagian dari kegiatan spiritual mereka. Seolah-olah serangan ini sama sakralnya dengan kegiatan mereka memandangi Bulan setiap lewat tengah malam.
Burung kecil berwarna cokelat gagal mempertahankan nyawa. Ia jatuh di samping jasad kawannya. Di atas sana pungguk-pungguk melontarkan sumpah serapah. Kutukan-kutukan dan doa-doa yang buruk. Mereka berkukuk dengan suara nyaring dan penuh ambisi. Penuh aura anarki. Keras, terlampau percaya diri, dan mengusik ketenangan malam purnama. Sedang bulan tetap bersembunyi di balik awan hingga fajar tiba. Pungguk kian lupa akan jati dirinya.
Sekali lagi cerita ini bukan tentang manusia. Maski ada sedikit manusia di dalamnya. Sedikit sekali. Jika para pembaca tak paham, maka tak usah risau. Karena pengarang yakin, para pembaca sekalian adalah manusia. Sedang cerita ini bukanlah tentang manusia. Ini tentang burung pungguk yang selalu merindukan bulan. Namun jika ada di antara pembaca yang paham, barangkali pembaca punya hubungan erat dengan pungguk-pungguk tadi. Sebagai penutup, pengarang mengumumkan bahwa cerita pungguk ini belum selesai. Di kemudian hari mungkin akan ada perilaku-perilaku pungguk yang dirasa perlu diceritakan kepada manusia untuk dijadikan pelajaran. Bukan untuk diikuti jejaknya. Sekian dan terimakasih.

Semarang, 2016
Dimuat dalam Majalah Merah Putih edisi 85 halaman 33
Toko Buku LNTRA
Hak Cipta Isi © Amry Rasyadany. Diberdayakan oleh Blogger.