23 Desember 2012

WARISAN NENEK MOYANG, WARISAN JALANAN

Masih jelas dalam ingatan kita tentang perilaku negara tetangga yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan kebudayaan di Indonesia.  Beberapa kebudayaan asli Indonesia seperti wayang, reog, lagu rasa sayange dan beberapa kebudayaan lain sempat diklaim oleh Malaysia.  Meskipun tak lama, hal itu cukup membangkitkan simpati dan intropeksi diri untuk rakyat Indonesia. 
Sejak saat itu, geliat mempertahankan budaya gencar dilakukan di mana-mana.  Wayang kembali di eksplorasi ceritanya.  Rating busana bernuansa batik dalam dunia fashion menanjak.  Rombongan reog kebanjiran job pentas.  Lagu rasa sayange semakin sering terdengar di CD kumpulan lagu anak-anak. 
Geliat itu merambah di berbagai kalangan di seluruh lapisan masyarakat Indonesia.  Hingga rangsangannya mulai menapaki dunia jalanan.  Satu persatu pengemis beralih profesi menjadi penari dan tukang pukul gong.  Dengan seperangkat gamelan yang tak lengkap, baju loreng-loreng lengkap dengan jarik dan blangkon serta make up seadanya lalu menari dengan gerakan yang lebih cocok diiringi dengan lagu dangdut.  Mereka pentas di panggung bang jo.  Dengan seketika, para pengemis dan gelandangan itu menjadi agen pelestarian budaya Indonesia.  Sepertinya kebanyakan dari mereka sadar betul seperti apa kondisi masyarakatnya saat ini dan mereka tak salah atas insting jalanannya.  Rakyat Indonesia saat ini amarahnya sedang tersulut, semangatnya menggebu-gebu atas nama melindungi budaya leluhur.
Para pengendara motor yang awam secara sekilas menganggap bahwa tarian yang dibawakan di lampu merah itu adalah tarian tradisional Indonesia.  Karna tingginya simpati terhadap kebudayaan, apresiasi mereka pun lumayan tinggi.  Beda sekali dengan apresiasi kepada pangamen yang menggunakan gitar.  Lalu apakah kebudayaan Indonesia itu hanya sebatas kesenian jalanan? Yang manggung ketika lampu merah menyala. Dengan peralatan seadanya.  Bahkan kebanyakan dari kita tak pernah tau tarian yang dibawakan mereka itu tarian tradisional yang berasal dari daerah mana. Rakyat Indonesia tetap lebih tertarik dengan konser grup band yang kiblatnya berada di dunia barat.  Sedangkan pertunjukan seni tradisional sebenarnya tetap tertinggal dan sedikit peminatnya. 
Lalu apakah tugas sebagai agen pelestarian budaya Indonesia tetap kita limpahkan pada orang jalanan yang tak sengaja ditonton oleh apresiator yang kebetulan melintas di lampu merah itu?  Jika demikian, pelestarian budaya tetap nol nilainya.  Karena kebanyakan penari di lampu merah itu bukan orang-orang yang terdidik dalam hal seni tradisional.  Cobalah perhatikan musik yang mereka bawakan, itu akan terdengar monoton dan selalu seperti itu sepanjang mereka pentas.  Gerakan mereka pun jika dilihat dengan teliti sebenarnya itu bukan tarian tradisional dari daerah mana pun.  Mereka hanya menari dan berjoget sebisa mereka.  Bahkan tarian mereka lebih pas jika diiringi dengan lagu dangdut dari pada diiringi dengan suara gamelan.
Tugas pelestarian budaya tradisional Indonesia sudah terlanjur kita limpahkan pada seniman jalanan seperti mereka.  Sedangkan ternyata yang mereka tampilkan bukanlah budaya tradisional yang sebenarnya.  Lalu seni tradisiolan kita akan pentas di mana? Apa di Malaysia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Buku LNTRA
Hak Cipta Isi © Amry Rasyadany. Diberdayakan oleh Blogger.