Sejak saat itu, geliat
mempertahankan budaya gencar dilakukan di mana-mana. Wayang kembali di eksplorasi ceritanya. Rating busana bernuansa batik dalam dunia
fashion menanjak. Rombongan reog
kebanjiran job pentas. Lagu rasa sayange
semakin sering terdengar di CD kumpulan lagu anak-anak.
Geliat itu merambah di berbagai
kalangan di seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Hingga rangsangannya mulai menapaki dunia
jalanan. Satu persatu pengemis beralih
profesi menjadi penari dan tukang pukul gong.
Dengan seperangkat gamelan yang tak lengkap, baju loreng-loreng lengkap
dengan jarik dan blangkon serta make up seadanya lalu menari dengan gerakan
yang lebih cocok diiringi dengan lagu dangdut.
Mereka pentas di panggung bang jo. Dengan seketika, para pengemis dan
gelandangan itu menjadi agen pelestarian budaya Indonesia. Sepertinya kebanyakan dari mereka sadar betul
seperti apa kondisi masyarakatnya saat ini dan mereka tak salah atas insting
jalanannya. Rakyat Indonesia saat ini amarahnya
sedang tersulut, semangatnya menggebu-gebu atas nama melindungi budaya leluhur.
Para pengendara motor yang awam
secara sekilas menganggap bahwa tarian yang dibawakan di lampu merah itu adalah
tarian tradisional Indonesia. Karna tingginya
simpati terhadap kebudayaan, apresiasi mereka pun lumayan tinggi. Beda sekali dengan apresiasi kepada pangamen
yang menggunakan gitar. Lalu apakah
kebudayaan Indonesia itu hanya sebatas kesenian jalanan? Yang manggung ketika
lampu merah menyala. Dengan peralatan seadanya. Bahkan kebanyakan dari kita tak pernah tau
tarian yang dibawakan mereka itu tarian tradisional yang berasal dari daerah
mana. Rakyat Indonesia tetap lebih tertarik dengan konser grup band yang
kiblatnya berada di dunia barat. Sedangkan
pertunjukan seni tradisional sebenarnya tetap tertinggal dan sedikit peminatnya.
Lalu apakah tugas sebagai agen
pelestarian budaya Indonesia tetap kita limpahkan pada orang jalanan yang tak
sengaja ditonton oleh apresiator yang kebetulan melintas di lampu merah itu? Jika demikian, pelestarian budaya tetap nol
nilainya. Karena kebanyakan penari di
lampu merah itu bukan orang-orang yang terdidik dalam hal seni
tradisional. Cobalah perhatikan musik
yang mereka bawakan, itu akan terdengar monoton dan selalu seperti itu
sepanjang mereka pentas. Gerakan mereka
pun jika dilihat dengan teliti sebenarnya itu bukan tarian tradisional dari
daerah mana pun. Mereka hanya menari dan
berjoget sebisa mereka. Bahkan tarian
mereka lebih pas jika diiringi dengan lagu dangdut dari pada diiringi dengan
suara gamelan.
Tugas pelestarian budaya
tradisional Indonesia sudah terlanjur kita limpahkan pada seniman jalanan
seperti mereka. Sedangkan ternyata yang
mereka tampilkan bukanlah budaya tradisional yang sebenarnya. Lalu seni tradisiolan kita akan pentas di
mana? Apa di Malaysia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar