“Apa kita kawin
lari saja, Nur?”
“Kawin lari,
Fat? Jangan gila. Serumit apapun hubungan
kita ini, akan tetap aku jalani dengan tabah.
Kalau memang Tuhan mengizinkan kita bersatu, maka bersatulah dengan cara
yang baik.”
“Lalu kita harus
gimana?”
“Sabar, Fat. Kita hanya bisa menunggu. Niat kita mulia bukan? Tuhan pasti berikan jalan yang terbaik buat
kita.”
“Restu Tuhan itu
mengikuti restu orangtua kan, Nur?
Bagaimana Dia bisa merestui jika orangtuaku saja tidak merestui hubungan
kita.”
“Tuhan kan maha
membolak-balikkan hati manusia. Kita
hanya perlu sabar. Bukannya orang Solo
itu Nrimo? Pasrah akan kehendak Tuhan?
“Kalau begini
ceritanya. Aku tak mau jadi orang
Solo. Jadi orang Bajau saja biar sesuku
dengan diri mu.”
“Suku Bajau itu
suku laut. Orang bajau harus pandai
berenang. Badan mu kurus kempes
begitu. Mana bisa ngambang kalau masuk air.”
“Orang Solo juga
tak selamanya nrimo. Ada kalanya untuk memberontak. Mempertahankan haknya.”
“Kenapa harus
ada ras yang berbeda, Fat?”
“Tanya nenek
moyang mu. Dia pelaut, kamu juga suku
laut kan”
“Ih, nakal
ya. Aku tanya serius.”
“Jangan merajuk
seperti itu.”
Aku
hanya tersenyum sambil ku biarkan tangan Fatih merangkul ku. Tak lagi ingin ku bahas masalah ini lebih
jauh. Sore ini aku biarkan kecipak air
di belakang katinting menjawab resah hatiku dan mungkin juga hati Fatih. Ikan-ikan mujair yang hidup liar di habitat
sungai ini sesekali menyembulkan moncongnya ke permukaan membuat gerakan air
yang melingkar. Semakin lama semakin
lebar menjauh menggoyangkan bayang sinar mentari yang semakin beranjak ke
barat. Lalu waktu berjalan dengan begitu
cepatnya mengantarkan katinting yang kami tumpangi segera merapat ke
seberang. Setelah itu kami
berpisah. Namun cukuplah pertemuan hari
ini. Lagi pula esok pagi pukul 06.00
Wita kami akan bertemu lagi. Di dermaga
kecil yang terbuat dari gelondongan batang pohon, diikat dengan tali tambang,
dan selalu ikut bergoyang jika datang ombak yang keluar dari mesin kapal-kapal
besar pembawa batu bara.
“Sampai
bertemu esok pagi, Nur.”
“Iya. Tak sabar rasanya ingin segera datang hari
esok.”
“Hari
esok pasti datang, Nur”
“Ya,
tapi apa ada hari esok untuk cinta kita?”
Fatih
terdiam, ku kecup punggung tangannya sebelum ia berlalu. Pulamg.
-o@@@o-
“Sudah
jam berapa ini?”
“Aduh,
maaf. Aku bangun kesiangan.”
“Sama-sama
telat.”
“Maaf. Lain kali kalau aku telat. Tak usah kamu tunggu. Duluan saja.”
“Lalu
kapan kita ketemunya?’
“Lain
waktu kan bisa.”
“Memangnya
kita masih punya waktu berapa banyak untuk bertemu?’
“Maksud
kamu?”
“Fatih, Minggu depan kamu sudah ujian nasional. Setelah itu kamu bakal terbang ke Solo. Kuliah.
memangnya kita masih punya berapa waktu untuk ketemu? Selain di katinting ini dua kali dalam
sehari. Itu pun kita tidak bertemu di
hari Minggu karna tak sekolah.”
“belajar
untuk merindu saja. Tak lama lagi kita
akan terpisah dalam waktu dan jarak yang panjang. Tak ada salahnya kalau
frekuensi pertemuan kita dikurangi agar sudah terbiasa tak bertemu nanti.”
“Tapi
aku belum siap kau tinggal pergi.”
“Nur,
kalau kita nanti menikah. Aku akan jadi
imam mu. Aku harus bisa menafkahi
mu. Di Solo aku tak akan main-main. Aku kejar cita-cita di sana. Lalu kerja.
Lalu menikah dengan mu. Dan kamu
tak akan kelaparan nantinya.”
“Amin.”
“Sudah
sarapan kamu? Aku bawa roti, mau?”
“Sudah,
Fat. Buat bekal kamu saja.”
“Ya
sudah kalau begitu.”
Dingin
pagi ini tak sedingin waktu. Cepat
sekali berlalu, acuh pada manusia yang butuh lebih banyak. Seperti katinting ini juga. Cepat sekali menyeberangi sungai yang
berkabut. Lelaki paruh baya pemilik
katinting itu sepertinya sudah terlalu biasa menyeberangi dingin. Saat aku masih membungkus seragam sekolahku
dengan jaket dan syal, dia dengan penuh percaya diri mengemudikan katinting
dengan mengenakan kaos singlet dan
celana pendek, tanpa alas kaki. Sesekali
dia terbatuk, suaranya kering. Aliran-aliran
syaraf yang menjalar di lengannya seperti akar meninggalkan bekas jiwa mudanya,
bekas semangatnya yang kini termakan usia dan ditambah dengan batuknya yang
menahun. Masih kuat saja ia menarik
katinting merapat ke dermaga.
Jari-jarinya yang keriput masih cekatan menyimpul tali katinting di
tiang-tiang kayu. Dan seperti biasa ku
biarkan Fatih membayar ongkos penyeberangan kepada lelaki itu untuk kami
berdua. Lalu kami berjalan kaki
beriringan menuju jalan setapak, menuju sekolah masing-masing.
“Ibu
gimana kabarnya, Fat? Katanya kemarin
sakit.”
“Iya. Tekanan darah tinggi. Tapi sekarang sudah baikan.”
“Salam
buat Ibu, ya.”
“Mana
mungkin aku sampaikan.”
“Jika
aku ini orang Solo, aku pasti datang sendiri ke rumah mu menjenguk Ibu,
Fat. Rindu masak bareng dengan Beliau.”
“Iya. Itu dulu, ya.
Sebelum Ibu tau kalau kamu bersuku Bajau.”
“Iya. Kenapa aku terlahir menjadi suku Bajau?”
“Apa
salahnya jadi orang Bajau? Suku Bajau
itu raja lautan. Harusnya kamu bangga.”
“Tetap
saja tak bahagia karna tak bisa menikah dengan mu, Fat.”
“Siapa
bilang? Tak ada hukumnya orang Solo harus
menikah dengan orang Solo. “
“Tapi
lebih baik menikah dengan orang Solo daripada dengan Bajau.”
“Kamu
bilang Tuhan maha membolak-balikkan hati manusia. Sudah capek menunggu?”
“Tak
ada yang lebih benar dari omongan orangtua, Fat.”
“Suku
Bajau bukan suku yang gampang menyerah.
Kau yang ajak aku untuk bertahan.
Ayo kita sama-sama bertahan.”
Kami
berhenti di persimpangan. Aku ke kiri, Fatih
ke kanan. Ku kecup punggung
tangannya. Dia tersenyum dan
berlalu. Laki-laki itu masih yakin kalau
aku akan jadi istrinya.
-o@@@o-
“Jadi
besok kamu sudah akan terbang, Fat?”
“Iya”
“Benar-benar
tak terasa, ya. Kamu sudah mahasiswa
sekarang.”
“Belum,
hasil tesnya kan belum diumumkan.”
“Ah,
sudah jelas kamu di terima.”
“Bagaimana
bisa?”
“Semalam
aku bermimpi kau mengenakan toga, di
belakang namamu tertera S.S.”
“Sarjana
Sastra? Bagaimana jika aku diterima di
jurusan komputer? Mimpimu bisa saja
salah.”
“Tidak
ah, nama mu lebih bagus jika di beri gelar S.S. dari pada S. Kom.”
“Kamu
sekolah yang benar, biar tahun depan bisa lulus dan menyusul ku.”
“Menyusul
kamu ke Solo? Aku kuliah di Solo?”
“Iya”
“Abah
mana mungkin mengizinkan.”
“Mengapa?”
“Terlalu
jauh, aku juga tak punya saudara di sana.
Masih lebih baik aku ke Makasar.
Di sana ada Paman yang bisa menjaga aku.”
“Jarak
kita makin jauh saja kalau begitu.”
“Mungkin
aku akan ikut sepupuku, Fat.”
“Kerja
di kebun sawit?”
“Iya. Ku pikir setelah lulus SMA nanti, sudah
saatnya aku membantu keuangan keluargaku.”
“Tapi
ada baiknya kamu kuliah dulu.”
“Keuangan
keluargaku sepertinya tidak mendukung, Fat.”
“Sudah
sampai.”
“Jadi
di sini kita berpisah, Fat? Di dermaga
kecil ini, tempat kita bertemu di pagi hari dan berpisah di sore hari.”
“Ya. Tempat kita bertemu pertama kali dan berpisah
untuk waktu yang lama.”
“Kita
akan bertemu lagi di sini kan?”
“Harus. Kita harus bertemu lagi di sini.”
Fatih
memelukku, ku balas pelukannya, ku cium
punggung tangannya. Sore di khatulistiwa
pun ikut merunduk dan mengucapkan salam perpisahan. Pendarnya di permukan sungai yang jingga larut
dalam gelombang dan cipratan ombak sungai yang kecil. Dan inilah saatnya, Fatih membawa cinta
terbang ke tanah Jawa. Tanah yang penuh
dengan wanita-wanita titisan Karesidenan Surakarta. Tanah yang penuh dengan restu orang tuanya,
karna wanita-wanita itu wanita-wanita Solo.
Bukan wanita Bajau, tapi wanita Surakarta, wanita Jawa.
-o@@@o-
“Bagaimana
bisa?”
“Jelas
saja.”
“Maksudnya?
Kalau ada yang dengar, kamu bisa dianggap murtad.”
“Aku
tidak bermaksud menghina agama manapun.
Tapi memang itu terkadang yang aku rasakan.”
“Aku
masih belum mengerti, Fat.”
“Jadi
begini, Nur. Dalam cinta beda agama,
jika orang tua mereka merestui, maka menikahlah mereka. Tidak legal di Indonesia, menikahlah di luar
negeri yang melegalkan pernikahan beda agama.
Tapi kalau orangtua mereka tak setuju, salah satu dari mereka bisa saja
berganti agama agar mereka bisa menikah.”
“Terus?”
“Yang
kita jalani ini hubungan cinta beda suku, Nur.
Kalau orangtua kita menyetujui perbedaaan suku, kita bisa saja langsung
menikah. Tapi kenyataannya orangtuaku
tetap keras kepala untuk menikahkan aku dengan wanita Suku Jawa. Dari kecil sampai kita mati, suku tak akan
bisa diganti, Nur. Lahir sebagai Bajau, sampai mati tetap Suku Bajau. Lahir sebagai orang Jawa, sampai mati tetap
Jawa.”
“Kamu
pikir pindah agama itu mudah? Banyak
kasus hubungan anak dan orang tua yang rusak gara-gara anaknya pindah agama
cuma supaya bisa nikah dengan orang pilihannya.”
“Lebih
mudah mana? Pindah agama atau pindah suku?
Siapa yang bisa merubah suku?
Kasus itu salah orangtuanya.
Anak-anak mereka sudah besar, sudah bisa memilih mana agama yang benar.”
“Orangtua
yang tidak merestui hubungan beda suku yang dijalani oleh anaknya juga
salah. Harusnya mereka sadar bahwa anak
mereka sudah dewasa. Sudah bisa memilih
siapa yang terbaik yang akan jadi pendamping hidupnya.”
“Kau
menyalahkan orantuaku, Nur?”
“Aku
tak menyalahkan orangtuamu. Aku
menyalahkan dirimu. Kenapa kau masih
mencintaiku? Kenapa tak menikah saja
dengan perempuan Jawa, perempuan Solo.
Sudah 3 tahun kamu kuliah di Universitas Sebelas Maret, masa belum dapat
kenalan perempuan Solo?”
“Karna
aku sudah dewasa, Nur. Aku sudah bisa
memilih siapa yang terbaik yang akan menjadi pendamping hidupku.”
“Aku
lelah, Fatih. Aku lelah. Sampai kapan kita harus menunggu? Kapan Tuhan membalik hati orangtuamu?”
“Kalau
kamu lelah. Silakan pergi. Tahun depan kamu sudah 20 tahun. Menikah saja dengan yang lain. Teman-teman di tempat kamu kerja pasti lebih
matang daripada aku. Lebih siap
berumahtangga daripada aku. Aku ini
mahasiswa sastra yang tak jelas masa depannya.
Bahkan sampai sekarang aku belum tau mau kerja apa jika sudah sarjana
nanti.”
“Ya,
aku akan menikah jika itu maumu.”
“Jadi
seperti inilah kita pada akhirnya.
Sebentar lagi kau menikah dan akan bahagia.”
“Iya.”
“Kalau
begitu, secepatnya aku akan pergi.”
“Pergi?
Kemana?”
“Meninggalkanmu. Sudah bukan waktunya lagi aku mengganggu
hidupmu.”
“Bodoh. Lalu kapan kamu lamar aku kalau kamu pergi?”
“Aku
takkan bisa melamarmu sebelum orang tuaku merestui.”
“Apa
orang tuamu akan merestui, Fat?”
“Aku
tak tau.”
“Aku
mencintaimu, Fat. Tapi bahagiakanlah
orangtua mu.”
“Aku
pun mencintaimu. Juga mencintai
orangtuaku. Aku ingin membahagiakan
orangtuaku, juga membahagiakanmu.”
Fatih
tersenyum. Aku balas senyumannya dengan
rindu yang sampai saat ini belum bisa aku ucapkan. Biar saja riak air di belakang baling-baling katinting
ini membisikkan rindu itu di telinganya.
Yang penting dia sekarang di sini.
Dekat denganku meski tak sampai sebulan
karna harus kembali kuliah di Solo lagi.
Lalu esok ku biarkan dia pergi.
Dan di dermaga kayu ini kami akan bertemu lagi.
“Bagaimana
kabar kuliahmu?”
“Baik-baik
saja. Sibuk bolak-balik novel, antologi
puisi, kumpulan cerpen, nonton drama, film dan sebagainya.”
“Sudah siap jadi
sastrawan?”
“Siapa
yang akan jadi sastrawan?”
“Kamu. Kamu kan mahasiswa sastra.”
“Kata
dosenku, mahasiswa sastra tak dididik untuk jadi sastrawan. Tapi menjadi ilmuan sastra.”
“Apa bedanya?”
“Jelas beda. Sastrawan itu mengarang karya sastra. Mereka mengarang puisi, cerpen, novel dan drama.”
“Jelas beda. Sastrawan itu mengarang karya sastra. Mereka mengarang puisi, cerpen, novel dan drama.”
“Lalu ilmuan sastra apa kerjanya?”
“Membaca karya mereka, menganalisis, mengkritik dan menilai. Terkadang aku merasa sebagai mahasiswa sastra, aku dibodohi sama sastrawan.”
“Membaca karya mereka, menganalisis, mengkritik dan menilai. Terkadang aku merasa sebagai mahasiswa sastra, aku dibodohi sama sastrawan.”
“Begitu?”
“Ya. Para penyair
dengan mudahnya mengarang puisi dengan kata-kata yang indah dan melambung
tinggi. Tak jarang kata-kata mereka itu
hanya keluar begitu saja tanpa ada maksud apa-apa. Tapi kami para mahasiswa sastra harus mencari
tau apa makna kata tersebut.”
“Tapi persepsi masyarakat awam tak begitu kan? Namanya sarjana sastra ya sastrawan.”
“Ya, itu tuntutan
lainnya. Kami ini ilmuan sastra tapi
dituntut jadi sastrawan juga.”
“Jadilah apa yang kamu suka, Fatih.”
“Aku lebih suka jadi Orang Bajau. Agar bisa menikah denganmu. Berkeluarga dan anak-anakku memanggilmu Ibu.”
“Ibu? Tidak ah,
terlalu formal. Anak-anak kita akan
memanggilku Mama. Itu lebih hangat.”
“Ya sudah, terserah kamu.”
Dan rindu ini tumpah dengan sendirinya. Rindu yang selama tiga tahun membanjiri
sungai ini. Rindu yang mengalir di tiap
sudut katinting yang aku tumpangi.
Mengalir ke gemiricik air di luar lambung katinting. Hanyut bersama arus sungai yang memancarkan
senja di permukaannya.
-o@@@o-
Burung-burung bangau yang lelah pulang ke rumah setelah
seharian mengisi perut di rawa yang becek.
Terbang beriringan melintang di cakrawala yang oranye, putih
kebiruan. Senja mulai menyelami
airnya. Jingga dan gelap
bergoyang-goyang di permukaan sungai. Ribut
terbawa ombak kapal pengangkut batu bara.
Pecah bertemu batang pohon mati yang mengapung ke muara. Pecah bertemu kapal-kapal yang karam di
pinggir sungai. Pecah bertemu dermaga
kayu tempat aku menanti. Dermaga yang
ikut resah bersama suara deritnya. Suara
gesekan batang kayu satu dengan batang kayu lainnya. Jejeran batang kau yang terikat dengan
tambang. Membentuk seperti rakit dan terhubung
dengan dinding sungai. Di sini dua anak
manusia dari dua suku berbeda dipertemukan dalam sebuah penantian. Dan
katinting yang setia menyeberangi sungai telah menjadi saksi akan sebuah
kegundahan dua hati. Kegundahan dua anak
manusia dari dua suku berbeda.
Kegundahan yang lebur dalam kabut pagi hari dan senja yang jingga. Di sini, sebuah awal dan akhir sebuah
kesangsian akan restu orangtua. Dan
penantian itu telah datang. Fatih dalam
katinting, naik ke dermaga dan aku masih mencium punggung tangannya.
“Sudah lama menunggu?”
“Tidak juga, aku sudah mulai hafal jadwal pulangmu.”
“Ana tak kamu ajak?”
“Sedang bermain bersama neneknya.”
“Ah iya, ini aku bawakan ikan. Nanti kamu masak sama Ibu untuk makan malam
kita.”
Senja masih seperti biasa, memancarkan sinarnya. Memantul di antara gelombang air sungai yang
berkejaran. Menyimpan penantian. Menyimpan segala kemungkinan.
* perahu yang menggunakan motor luar dengan poros panjang yang dipasang di
sisinya, dapat dibenamkan ke dalam air atau diangkat ke permukaan air. (http://kbbi.web.id/ketinting)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar