17 April 2013

Cinta Dalam Katinting*



“Apa kita kawin lari saja, Nur?”
“Kawin lari, Fat? Jangan gila.  Serumit apapun hubungan kita ini, akan tetap aku jalani dengan tabah.  Kalau memang Tuhan mengizinkan kita bersatu, maka bersatulah dengan cara yang baik.”
“Lalu kita harus gimana?”
“Sabar, Fat.  Kita hanya bisa menunggu.  Niat kita mulia bukan?  Tuhan pasti berikan jalan yang terbaik buat kita.”
“Restu Tuhan itu mengikuti restu orangtua kan, Nur?  Bagaimana Dia bisa merestui jika orangtuaku saja tidak merestui hubungan kita.”
“Tuhan kan maha membolak-balikkan hati manusia.  Kita hanya perlu sabar.  Bukannya orang Solo itu Nrimo?  Pasrah akan kehendak Tuhan?
“Kalau begini ceritanya.  Aku tak mau jadi orang Solo.  Jadi orang Bajau saja biar sesuku dengan diri mu.”
“Suku Bajau itu suku laut.  Orang bajau harus pandai berenang.  Badan mu kurus kempes begitu.  Mana bisa ngambang kalau masuk air.”
“Orang Solo juga tak selamanya nrimo.  Ada kalanya untuk memberontak.  Mempertahankan haknya.”
“Kenapa harus ada ras yang berbeda, Fat?”
“Tanya nenek moyang mu.  Dia pelaut, kamu juga suku laut kan”
“Ih, nakal ya.  Aku tanya serius.”
“Jangan merajuk seperti itu.”

            Aku hanya tersenyum sambil ku biarkan tangan Fatih merangkul ku.  Tak lagi ingin ku bahas masalah ini lebih jauh.  Sore ini aku biarkan kecipak air di belakang katinting menjawab resah hatiku dan mungkin juga hati Fatih.  Ikan-ikan mujair yang hidup liar di habitat sungai ini sesekali menyembulkan moncongnya ke permukaan membuat gerakan air yang melingkar.  Semakin lama semakin lebar menjauh menggoyangkan bayang sinar mentari yang semakin beranjak ke barat.  Lalu waktu berjalan dengan begitu cepatnya mengantarkan katinting yang kami tumpangi segera merapat ke seberang.  Setelah itu kami berpisah.  Namun cukuplah pertemuan hari ini.  Lagi pula esok pagi pukul 06.00 Wita kami akan bertemu lagi.  Di dermaga kecil yang terbuat dari gelondongan batang pohon, diikat dengan tali tambang, dan selalu ikut bergoyang jika datang ombak yang keluar dari mesin kapal-kapal besar pembawa batu bara.
            “Sampai bertemu esok pagi, Nur.”
            “Iya.  Tak sabar rasanya ingin segera datang hari esok.”
            “Hari esok pasti datang, Nur”
            “Ya, tapi apa ada hari esok untuk cinta kita?”
            Fatih terdiam, ku kecup punggung tangannya sebelum ia berlalu. Pulamg.
-o@@@o-
            “Sudah jam berapa ini?”
            “Aduh, maaf.  Aku bangun kesiangan.”
            “Sama-sama telat.”
            “Maaf.  Lain kali kalau aku telat.  Tak usah kamu tunggu.  Duluan saja.”
            “Lalu kapan kita ketemunya?’
            “Lain waktu kan bisa.”
            “Memangnya kita masih punya waktu berapa banyak untuk bertemu?’
            “Maksud kamu?”
            “Fatih,  Minggu depan kamu sudah ujian nasional.  Setelah itu kamu bakal terbang ke Solo.  Kuliah.  memangnya kita masih punya berapa waktu untuk ketemu?  Selain di katinting ini dua kali dalam sehari.  Itu pun kita tidak bertemu di hari Minggu karna tak sekolah.”
            “belajar untuk merindu saja.  Tak lama lagi kita akan terpisah dalam waktu dan jarak yang panjang. Tak ada salahnya kalau frekuensi pertemuan kita dikurangi agar sudah terbiasa tak bertemu nanti.”
            “Tapi aku belum siap kau tinggal pergi.”
            “Nur, kalau kita nanti menikah.  Aku akan jadi imam mu.  Aku harus bisa menafkahi mu.  Di Solo aku tak akan main-main.  Aku kejar cita-cita di sana.  Lalu kerja.  Lalu menikah dengan mu.  Dan kamu tak akan kelaparan nantinya.”
            “Amin.”
            “Sudah sarapan kamu?  Aku bawa roti, mau?”
            “Sudah, Fat.  Buat bekal kamu saja.”
            “Ya sudah kalau begitu.”
            Dingin pagi ini tak sedingin waktu.  Cepat sekali berlalu, acuh pada manusia yang butuh lebih banyak.  Seperti katinting ini juga.  Cepat sekali menyeberangi sungai yang berkabut.  Lelaki paruh baya pemilik katinting itu sepertinya sudah terlalu biasa menyeberangi dingin.  Saat aku masih membungkus seragam sekolahku dengan jaket dan syal, dia dengan penuh percaya diri mengemudikan katinting dengan mengenakan kaos singlet dan celana pendek, tanpa alas kaki.  Sesekali dia terbatuk, suaranya kering.  Aliran-aliran syaraf yang menjalar di lengannya seperti akar meninggalkan bekas jiwa mudanya, bekas semangatnya yang kini termakan usia dan ditambah dengan batuknya yang menahun.  Masih kuat saja ia menarik katinting merapat ke dermaga.  Jari-jarinya yang keriput masih cekatan menyimpul tali katinting di tiang-tiang kayu.  Dan seperti biasa ku biarkan Fatih membayar ongkos penyeberangan kepada lelaki itu untuk kami berdua.  Lalu kami berjalan kaki beriringan menuju jalan setapak, menuju sekolah masing-masing.
            “Ibu gimana kabarnya, Fat?  Katanya kemarin sakit.”
            “Iya.  Tekanan darah tinggi.  Tapi sekarang sudah baikan.”
            “Salam buat Ibu, ya.”
            “Mana mungkin aku sampaikan.”
            “Jika aku ini orang Solo, aku pasti datang sendiri ke rumah mu menjenguk Ibu, Fat.  Rindu masak bareng dengan Beliau.”
            “Iya.  Itu dulu, ya.  Sebelum Ibu tau kalau kamu bersuku Bajau.”
            “Iya.  Kenapa aku terlahir menjadi suku Bajau?”
            “Apa salahnya jadi orang Bajau?  Suku Bajau itu raja lautan.  Harusnya kamu bangga.”
            “Tetap saja tak bahagia karna tak bisa menikah dengan mu, Fat.”
            “Siapa bilang?  Tak ada hukumnya orang Solo harus menikah dengan orang Solo. “
            “Tapi lebih baik menikah dengan orang Solo daripada dengan Bajau.”
            “Kamu bilang Tuhan maha membolak-balikkan hati manusia. Sudah capek menunggu?”
            “Tak ada yang lebih benar dari omongan orangtua, Fat.”
            “Suku Bajau bukan suku yang gampang menyerah.  Kau yang ajak aku untuk bertahan.  Ayo kita sama-sama bertahan.”
            Kami berhenti di persimpangan.  Aku ke kiri, Fatih ke kanan.  Ku kecup punggung tangannya.  Dia tersenyum dan berlalu.  Laki-laki itu masih yakin kalau aku akan jadi istrinya.
-o@@@o-
            “Jadi besok kamu sudah akan terbang, Fat?”
            “Iya”
            “Benar-benar tak terasa, ya.  Kamu sudah mahasiswa sekarang.”
            “Belum, hasil tesnya kan belum diumumkan.”
            “Ah, sudah jelas kamu di terima.”
            “Bagaimana bisa?”
            “Semalam aku bermimpi kau mengenakan toga,  di belakang namamu tertera S.S.”
            “Sarjana Sastra?  Bagaimana jika aku diterima di jurusan komputer?  Mimpimu bisa saja salah.”
            “Tidak ah, nama mu lebih bagus jika di beri gelar S.S. dari pada S. Kom.”
            “Kamu sekolah yang benar, biar tahun depan bisa lulus dan menyusul ku.”
            “Menyusul kamu ke Solo? Aku kuliah di Solo?”
            “Iya”
            “Abah mana mungkin mengizinkan.”
            “Mengapa?”
            “Terlalu jauh, aku juga tak punya saudara di sana.  Masih lebih baik aku ke Makasar.  Di sana ada Paman yang bisa menjaga aku.”
            “Jarak kita makin jauh saja kalau begitu.”
            “Mungkin aku akan ikut sepupuku, Fat.”
            “Kerja di kebun sawit?”
            “Iya.  Ku pikir setelah lulus SMA nanti, sudah saatnya aku membantu keuangan keluargaku.”
            “Tapi ada baiknya kamu kuliah dulu.”
            “Keuangan keluargaku sepertinya tidak mendukung, Fat.”
            “Sudah sampai.”
            “Jadi di sini kita berpisah, Fat?  Di dermaga kecil ini, tempat kita bertemu di pagi hari dan berpisah di sore hari.”
            “Ya.  Tempat kita bertemu pertama kali dan berpisah untuk waktu yang lama.”
            “Kita akan bertemu lagi di sini kan?”
            “Harus.  Kita harus bertemu lagi di sini.”
            Fatih memelukku,  ku balas pelukannya, ku cium punggung tangannya.  Sore di khatulistiwa pun ikut merunduk dan mengucapkan salam perpisahan.  Pendarnya di permukan sungai yang jingga larut dalam gelombang dan cipratan ombak sungai yang kecil.  Dan inilah saatnya, Fatih membawa cinta terbang ke tanah Jawa.  Tanah yang penuh dengan wanita-wanita titisan Karesidenan Surakarta.  Tanah yang penuh dengan restu orang tuanya, karna wanita-wanita itu wanita-wanita Solo.  Bukan wanita Bajau, tapi wanita Surakarta, wanita Jawa.
-o@@@o-
            “Bagaimana bisa?”
            “Jelas saja.”
            “Maksudnya? Kalau ada yang dengar, kamu bisa dianggap murtad.”
            “Aku tidak bermaksud menghina agama manapun.  Tapi memang itu terkadang yang aku rasakan.”
            “Aku masih belum mengerti, Fat.”
            “Jadi begini, Nur.  Dalam cinta beda agama, jika orang tua mereka merestui, maka menikahlah mereka.  Tidak legal di Indonesia, menikahlah di luar negeri yang melegalkan pernikahan beda agama.  Tapi kalau orangtua mereka tak setuju, salah satu dari mereka bisa saja berganti agama agar mereka bisa menikah.”
            “Terus?”
            “Yang kita jalani ini hubungan cinta beda suku, Nur.  Kalau orangtua kita menyetujui perbedaaan suku, kita bisa saja langsung menikah.  Tapi kenyataannya orangtuaku tetap keras kepala untuk menikahkan aku dengan wanita Suku Jawa.  Dari kecil sampai kita mati, suku tak akan bisa diganti, Nur.  Lahir sebagai Bajau,  sampai mati tetap Suku Bajau.  Lahir sebagai orang Jawa, sampai mati tetap Jawa.”
            “Kamu pikir pindah agama itu mudah?  Banyak kasus hubungan anak dan orang tua yang rusak gara-gara anaknya pindah agama cuma supaya bisa nikah dengan orang pilihannya.”
            “Lebih mudah mana? Pindah agama atau pindah suku?  Siapa yang bisa merubah suku?  Kasus itu salah orangtuanya.  Anak-anak mereka sudah besar, sudah bisa memilih mana agama yang benar.”
            “Orangtua yang tidak merestui hubungan beda suku yang dijalani oleh anaknya juga salah.  Harusnya mereka sadar bahwa anak mereka sudah dewasa.  Sudah bisa memilih siapa yang terbaik yang akan jadi pendamping hidupnya.”
            “Kau menyalahkan orantuaku, Nur?”
            “Aku tak menyalahkan orangtuamu.  Aku menyalahkan dirimu.  Kenapa kau masih mencintaiku?  Kenapa tak menikah saja dengan perempuan Jawa, perempuan Solo.  Sudah 3 tahun kamu kuliah di Universitas Sebelas Maret, masa belum dapat kenalan perempuan Solo?”
            “Karna aku sudah dewasa, Nur.  Aku sudah bisa memilih siapa yang terbaik yang akan menjadi pendamping hidupku.”
            “Aku lelah, Fatih.  Aku lelah.  Sampai kapan kita harus menunggu?  Kapan Tuhan membalik hati orangtuamu?”
            “Kalau kamu lelah.  Silakan pergi.  Tahun depan kamu sudah 20 tahun.  Menikah saja dengan yang lain.  Teman-teman di tempat kamu kerja pasti lebih matang daripada aku.  Lebih siap berumahtangga daripada aku.  Aku ini mahasiswa sastra yang tak jelas masa depannya.  Bahkan sampai sekarang aku belum tau mau kerja apa jika sudah sarjana nanti.”
            “Ya, aku akan menikah jika itu maumu.”
            “Jadi seperti inilah kita pada akhirnya.  Sebentar lagi kau menikah dan akan bahagia.”
            “Iya.”
            “Kalau begitu, secepatnya aku akan pergi.”
            “Pergi? Kemana?”
            “Meninggalkanmu.  Sudah bukan waktunya lagi aku mengganggu hidupmu.”
            “Bodoh.  Lalu kapan kamu lamar aku kalau kamu pergi?”
            “Aku takkan bisa melamarmu sebelum orang tuaku merestui.”
            “Apa orang tuamu akan merestui, Fat?”
            “Aku tak tau.”
            “Aku mencintaimu, Fat.  Tapi bahagiakanlah orangtua mu.”
            “Aku pun mencintaimu.  Juga mencintai orangtuaku.  Aku ingin membahagiakan orangtuaku, juga membahagiakanmu.”
            Fatih tersenyum.  Aku balas senyumannya dengan rindu yang sampai saat ini belum bisa aku ucapkan.  Biar saja riak air di belakang baling-baling katinting ini membisikkan rindu itu di telinganya.  Yang penting dia sekarang di sini.  Dekat denganku meski tak sampai sebulan  karna harus kembali kuliah di Solo lagi.  Lalu esok ku biarkan dia pergi.  Dan di dermaga kayu ini kami akan bertemu lagi.
            “Bagaimana kabar kuliahmu?”
            “Baik-baik saja.  Sibuk bolak-balik novel, antologi puisi, kumpulan cerpen, nonton drama, film dan sebagainya.”
“Sudah siap jadi sastrawan?”
            “Siapa yang akan jadi sastrawan?”
            “Kamu.  Kamu kan mahasiswa sastra.”
            “Kata dosenku, mahasiswa sastra tak dididik untuk jadi sastrawan.  Tapi menjadi ilmuan sastra.”
            “Apa bedanya?”
            “Jelas beda.  Sastrawan itu mengarang karya sastra.  Mereka mengarang puisi, cerpen, novel dan drama.”
            “Lalu ilmuan sastra apa kerjanya?”
            “Membaca karya mereka, menganalisis, mengkritik dan menilai. Terkadang aku merasa sebagai mahasiswa sastra, aku dibodohi sama sastrawan.”
            “Begitu?”
            “Ya.  Para penyair dengan mudahnya mengarang puisi dengan kata-kata yang indah dan melambung tinggi.  Tak jarang kata-kata mereka itu hanya keluar begitu saja tanpa ada maksud apa-apa.  Tapi kami para mahasiswa sastra harus mencari tau apa makna kata tersebut.”
            “Tapi persepsi masyarakat awam tak begitu kan?  Namanya sarjana sastra ya sastrawan.”
            “Ya,  itu tuntutan lainnya.  Kami ini ilmuan sastra tapi dituntut jadi sastrawan juga.”
            “Jadilah apa yang kamu suka, Fatih.”
            “Aku lebih suka jadi Orang Bajau.  Agar bisa menikah denganmu.  Berkeluarga dan anak-anakku memanggilmu Ibu.”
            “Ibu?  Tidak ah, terlalu formal.  Anak-anak kita akan memanggilku Mama.  Itu lebih hangat.”
            “Ya sudah, terserah kamu.”
            Dan rindu ini tumpah dengan sendirinya.  Rindu yang selama tiga tahun membanjiri sungai ini.  Rindu yang mengalir di tiap sudut katinting yang aku tumpangi.  Mengalir ke gemiricik air di luar lambung katinting.  Hanyut bersama arus sungai yang memancarkan senja di permukaannya.
-o@@@o-
            Burung-burung bangau yang lelah pulang ke rumah setelah seharian mengisi perut di rawa yang becek.  Terbang beriringan melintang di cakrawala yang oranye, putih kebiruan.  Senja mulai menyelami airnya.  Jingga dan gelap bergoyang-goyang di permukaan sungai.  Ribut terbawa ombak kapal pengangkut batu bara.  Pecah bertemu batang pohon mati yang mengapung ke muara.  Pecah bertemu kapal-kapal yang karam di pinggir sungai.  Pecah bertemu dermaga kayu tempat aku menanti.  Dermaga yang ikut resah bersama suara deritnya.  Suara gesekan batang kayu satu dengan batang kayu lainnya.  Jejeran batang kau yang terikat dengan tambang.  Membentuk seperti rakit dan terhubung dengan dinding sungai.  Di sini dua anak manusia dari dua suku berbeda dipertemukan dalam sebuah penantian. Dan katinting yang setia menyeberangi sungai telah menjadi saksi akan sebuah kegundahan dua hati.  Kegundahan dua anak manusia dari dua suku berbeda.  Kegundahan yang lebur dalam kabut pagi hari dan senja yang jingga.  Di sini, sebuah awal dan akhir sebuah kesangsian akan restu orangtua.  Dan penantian itu telah datang.  Fatih dalam katinting, naik ke dermaga dan aku masih mencium punggung tangannya.
            “Sudah lama menunggu?”
            “Tidak juga, aku sudah mulai hafal jadwal pulangmu.”
            “Ana tak kamu ajak?”
            “Sedang bermain bersama neneknya.”
            “Ah iya, ini aku bawakan ikan.  Nanti kamu masak sama Ibu untuk makan malam kita.”
            Senja masih seperti biasa, memancarkan sinarnya.  Memantul di antara gelombang air sungai yang berkejaran.  Menyimpan penantian.  Menyimpan segala kemungkinan.
* perahu yang menggunakan motor luar dengan poros panjang yang dipasang di sisinya, dapat dibenamkan ke dalam air atau diangkat ke permukaan air. (http://kbbi.web.id/ketinting)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Toko Buku LNTRA
Hak Cipta Isi © Amry Rasyadany. Diberdayakan oleh Blogger.